Islam sebagai agama dan way of life sudah diyakini oleh para penganutnya. Namun demikian, upaya mengaktualisasikan setiap ajarannya tentu sangat dinamis. Tidak semua muslim memahami secara sama atas nash atau doktrin yang ada. Sehingga, dari keadaan seperti ini, semua muslim tertuntut untuk terus belajar.
Bulan Ramadhan satu di antara waktu yang disiapkan Allah dengan segalam momennya. Tulisan sederhana ini akan mencoba memahami pesan dalam bulan suci bukan pada aspek ubudiyahnya, tetapi pada aspek sosialnya. Sebab ketakwaan memiliki dimensi sosial sebagai salah satu pilarnya.
Bulan suci Ramadhan adalah waktu yang diperintah untuk berpuasa. Banyak aspek puasa sudah diteliti berbagai pihak dengan beragam pendekatan. Pendekatan ilmiah kedokteran, biologi, dan beberapa disiplin lain terus menerus menggali beragam makna dan pesan dari puasa ini. Berbagai pelajaran dari hasil penelitian ini pun sudah banyak dikemukakan ke public.
Satu di antara sekian hikmah berpuasa adalah mendorong ummat muslim untuk mempraktikkan ketakwaan ekologis. Bagaimana prosesnya?
Pertama, salah satu dari prinsip-prinsip ibadah puasa adalah menahan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang memiliki dimensi negatif. Dimensi negatif yang dihadapi oleh proses puasa berakar pada dua hal: diri dan lingkungan. Maka seseorang yang sedang melakukan ibadah puasa dituntut untuk tidak melakukan destruksi internal dan eksternal sekaligus.
Dalam konteks ekologis, maka nilai-nilai puasa sejatinya tidak membuka ruang bagi kita untuk merusak alam—bahkan sejak dari pikiran. Seseorang harus menahan dan mengendalikan diri untuk tidak merusak dan menghancurkan alam oleh kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya. Bentuk-bentuk penghancuran alam oleh manusia bisa dimulai dengan tindakan-tindakan sepele sampai yang sangat besar: membuang sampah, banyak menggunakan plastik, menggunakan kimia untuk tanaman secara berlebihan, bahkan menghancurkan bentang alam hanya karena alasan ekonomi dan pembangunan.
Kedua, nilai-nilai puasa juga diajak manusia untuk melakukan tindakan konsumsi secara wajar alias tidak berlebih-lebihan. Untuk hal ini, justru kita prihatin karena setiap Ramadhan, tingkat konsumsi masyarakat Indonesia meningkat signifikan. Proses pengendalian seharian, ternyata belum memiliki dampak signifikan kepada menurunnya budaya konsumtivisme yang berdampak negatif kepada alam. Sementara itu, bisa jadi meningkatnya pola konsumsi ini disumbang oleh perilaku kaum muslimin yang siang harinya melakukan puasa.
Coba kita lihat, ketika puasa, marak sekali orang yang berburu makanan buka puasa yang disajikan dalam plastik dengan berbagai variannya. Plastik dan sedotan demikian mudah ditemui dalam beragam makanan tersebut. Bisa dihitung, jika 30 persen saja penduduk Indonesia yang sedang berpuasa itu menggunakan sedotan dan plastik dalam sehari, sudah pasti kita telah menghasilkan sampah plastik ratusan ribu kilo. Padahal seperti kita ketahui, plastik adalah material yang sangat susah diurai oleh Bumi.
***
Al Qur’an (Ar-Rum: 41) mengatakan, “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena ulah tangan-tangan manusia”. Kata kunci dari firman Tuhan tersebut jelas sekali bahwa dalam beragam kerusakan yang ada di Bumi, ada pada ulah manusia. Oleh karena itu, maka manusia perlu mempelajari beragam pesan Tuhan dalam berbagai perintah ibadah kepada-Nya, seperti puasa ini, adalah di antara cara agar kita memedulikan persoalan kerusakan alam ini. Dengan realitas yang dijelaskan di atas, ternyata puasa kita belum sampai kepada taraf meningkatkan kesadaran ekologis. Bahkan bisa jadi, justru sebaliknya puasa kita justru berkontribusi kepada memberatkan kehidupan dan lingkungan kita dalam bidang ekologis. Oleh karena itu, pesan-pesan ketakwaan yang berdimensi ekologis ini harus diedukasikan kepada Shooimuun (para pelaku ibadah puasa).
[terbit di Rakyat Merdeka]
assalamualaikum
pesan yang langsung terasa oleh masyarakat, salut kang.