Café (dan) Kehidupan

Café bagi sebagian masyarakat kota sudah seperti bagian dari lembar hidup yang harus digulati terus menerus. Pada café, mereka seperti menahbiskan bahwa sebagian kehidupannya dirajut, dibangun, dan ditetapkan di sini. Atau mungkin juga diakhiri di sini.

Sejarah perilaku “nongkrong” di café sebenarnya sangatlah lama. Ini diawali ketika sebagian masyarakat yang berinteraksi di tempat tertentu, biasanya warung, lalu memesan minuman dan kudapan untuk mengisi kekosongan. Saat itulah mereka saling menyapa dan sebagiannya menjadi teman.

Bisa jadi, di belahan negeri lain sejarahnya berbeda. Tetapi mediumnya sama: pertemuan. Di Negara yang kebanyakan penduduknya tinggal di rumah-rumah vertical seperti apartemen misalnya, café adalah ruang public tempat orang-orang bersosialisasi, menyongsong dan atau menikmati sisa hari.

Di Maroko, tepatnya di Tangier, ada sebuah café tertua di pinggir laut. Namanya Café Hafa. Berdiri awal abadi 19. Café ini ramai dikunjungi banyak orang selain karena pemandangannya yang indah, tetapi di seberang laut tersebut adalah daratan Eropa. Sangat mungkin, pengunjung café ini selain menikmati kopi atau teh (kadang diberi daun min) juga tengah menambatkan mimpi ingin sukses seperti mereka yang tinggal di seberang sana.

Di Indonesia, café selain bersaing pada aspek pelayanan, rasa, juga eksotisme dan primordialisme. Ada café yang berdiri di lembah dan tebing. Pengunjung diajak menikmati view alam yang indah. Ada juga café yang dibuat di dalam ruangan, tetapi menyuguhkan keindahan lain meski bersifat buatan.

Mengapa café harus seperti itu? Karena bagi pengunjungnya, café adalah tambatan. Tambatan rasa pada suguhan dan hidangan; tambatan mimpi pada keadaan dan kenyamanan. Maka tidak heran, sekarang banyak warga kota yang mengerjakan pekerjaan kantornya sambal ngopi di café. Dalam konteks ini, café bukan lagi tempat “membunuh” waktu, tetapi sudah menjadi ruang produktivitas. Jika demikian halnya, maka café sudah mengalami transformasi menjadi bagian dari sistem produksi.

Café sudah banyak mengalami proses transformasi sosiologis dan budaya yang luar biasa. Hubungan-hubungan yang terjadi di dalam “lembaga” café, bisa diparsialisasi dalam beragam bentuk. Misalnya mereka bisa hanya sepasang insan yang sedang menikmati kebersamaan sambil menuliskan harapan pada setiap tegukan kopi atau juice. Atau sekelompok orang yang dengan segala harapannya kemudian melakukan FGD dan “kerja” untuk membangun dan atau menciptakan sesuatu. Atau satu unit keluarga yang ingin memperkuat ikatan dengan anggotanya dengan cara mencari “pengalaman’ dari sajian dan ruangan.

Di kota-kota kecil seperti Garut, saat ini kemunculan café telah menjadi bagian dari system hidup masyarakat. Mereka yang nongkrong kemudian mendenyutkan kota. Banyak hasil karya yang dihasilkan karena aktivitas nongkrong tersebut. Meski tentu saja, yang paling berbahagia adalah mereka yang mengelolanya.

Tetapi jangan salah, banyak café yang berdiri tanpa konsep dan desain yang jelas. Café asal berdiri umumnya hidupnya pun “begitu-begitu saja”. Para pendirinya mungkin hanya melihat bagaimana memfasilitasi kebutuhan orang-orang yang ingin nongkrong. Karena aspek sosial-budaya yang tanpa pencermatan, umumnya café seperti itu tidak memberikan kesan kepada pengunjungnya. Ketika kesan ini tidak bisa dihasilkan, maka pengembangannya pun akan mengalami kesulitan.

Padahal di atas semua itu, café juga bisa menjadi simpul kenangan. Di Yogyakarta misalnya, ada café kopi joss. Berbeda dengan bayangan kita, itu hanya café tenda yang biasa saja. Kekuatannya terletak pada ruang memori pengunjung yang dihidupkan pada sajian kopinya. Bagi para pengunjungnya, café joss bisa menjadi ruang kognisi sosial yang akhirnya membalikkan kenangan akan sejarah masa lalu, di mana para creator kebudayaan menghasilkan perenungan-perenungan mendalam tentang kehidupan.   Karena café lahir dari proses transformasi kultural yang panjang, sudah selayaknya para pemilik harus terus berinovasi untuk menghasilkan kualitas. Inovasi tidak selalu harus menjadi biaya berupa uang. Inovasi bisa dibayar dengan waktu, tenaga, bahkan kesabaran untuk mencari, mendalami, menekuni, dan kemudian menciptakan sesuatu.

[terbit di Rakyat Merdeka]

Tinggalkan Balasan