Semiotika Gorengan

Indonesia sebagai salah satu Negara penghasil CPO (Crude Palm Oil) terbesar di dunia yang mencapai 32 juta metric ton/ pertahun (data 2017). Dengan kapasitas sebesar itu, tulisan ini ingin melihat dari perspektif sehari-hari bahwa, meski harga minyak goreng tidak murah, tetapi kita sangat kaya dengan kuliner yang mengandalkan minyak goreng tersebut.

Minyak goreng sejatinya bukan berbicara bendanya, tapi lebih ke aspek sosiologisnya: fungsi. Minyak goreng berarti minyak (yang berfungsi untuk) menggoreng. Benda-benda yang digoreng umumnya adalah makanan. Namun seiring dengan waktu, minyak goreng perlahan-lahan menjadi benda. Ketika menjadi benda itulah, maka minyak goreng pun diperjualbelikan dan beberapa produsennya kemudian menjadi sebagian kecil dari orang kaya di Indonesia.

Produk makanan hasil dari proses digoreng ini memang sangat mengundang selera. Meskipun hasil dari proses goreng-menggoreng ini akan berdampak negatif kepada kesehatan, nampaknya tidak terlalu diperhatikan penggemarnya.  

Sementara itu, hasil dari proses fungsional tersebut, muncullah produk turunan: gorengan. Ruang lingkup atau semesta gorengan itu sebenarnya luas. Sebab sesuai dengan fungsi dari minyak tadi, menggoreng, maka obyeknya bisa bermacam-macam. Tetapi dalam praktiknya, seperti kita ketahui, ada bias yang kadang hampir mendekati anomali. Bias dan anomali itu berupa penyempitan ruang lingkup dari segala hal yang digoreng menjadi beberapa jenis kudapan seperti: pisang goreng, tahu goreng, tempe goring, dan sebagainya.     

Semesta Gorengan

Coba saja kita pergi ke berbagai daerah di Indonesia. Banyak ditemukan gerobak kaki lima yang menyajikan gorengan. Bahkan, tahun lalu, kita disuguhi revolusi salah satu kuliner yang sangat familiar dengan kita: tahu goreng. Revolusi dilakukan dengan cara mengubah tahu dari bentuk konvensional: kotak persegi atau kubus itu, menjadi bulat. Tagline: “Tahu Bulat Digoreng Dadakan Limaratusan” cukup trending di penikmatnya.

Bagi para pecintanya, menikmati gorengan seperti ekstase yang menumpahkan seluruh kesadaran yang bersenyawa dengan kenikmatan. Di café-café, teras depan rumah, majlis-majlis, serta beragam forum dan pertemuan, kehadiran gorengan bisa seperti peluruh rindu. Gorengan diserbu; gorengan dicumbu.

Karena sudah menjangkau kesemestaan pikiran, gorengan-gorengan nyaris tidak pernah mengalami sepi peminat. Pluralisme harga dan kualitas, menyebabkan gorengan memiliki “pemuja” dengan segmen dan kelasnya masing-masing.Inovasi? Ada, meski masih berupa tempelan atau aksesoris.

Bagi mereka, memakan gorengan seperti melakukan pemujaan. Dalam setiap gigitannya terhimpun segala daulat dan kemelakatan atas segala tandu kenikmatan. Mereka mampu melakukan segala pembenaran atas pilihan tindakan. Dalam Bahasa Kaum Weberian, menikmati gorengan adalah keputusan besar ketika melakukan tindakan bermakna—apapun resikonya.

Bahkan, segala “mitos” tentang “kebusukan” gorengan mampu dienyahkan sedemikian rupa, sehingga proses pengabaiannya merupakan gempita kemenangan. Oleh karena itu, begitu setiap gigitan masuk ke dalam ruang kenikmatan, selebrasi itu dipekikkan dengan beragam symbol dan ekspresi seolah-olah keluar dari suratan takdir.

Indahnya gorengan semakin kuat ketika dipakukan pada semangat komunitarian yang kuat. Frasa: “mana gorengannya?” bukan semata-mata teriakan lapar, kadang malah bukan sama sekali, tetapi justru bermakna konotatif: kontributif dan deliberatif. Sehingga tidak sedikit yang rela merogoh saku untuk memenuhi hajat partisipatif.   

Gorengan dan Politik

Di Indonesia, meski ruang lingkup produk gorengan sudah dipersempit, tetapi kekayaan kuliner gorengan dan segala fungsionalitasnya justru diperluas. Salah satu ranah yang diinjeksi kekayaan maknanya adalah politik. Bahkan, akhir-akhir ini, gorengan dalam perbincangan politik semakin populer dipergunakan oleh banyak kalangan. Produk gorengan yang tadinya merupakan benda nyata dan sangat denotatif, mengalami ekstraksi luar biasa pada makna konotasi dan makna mitos. Jadi pemaknaan atas fungsi sosiologis-politisnya melakukan kuantum makna, yang kemudian direproduksi menjadi seolah-olah sebagai diktum kebenaran.

Jika kita hayati, gorengan konvensional (yang berbasis pisang, tempe, tahu, ubi dan lainnya) dan “gorengan politik” memiliki irisan makna yang sama. Sama-sama enak dinikmati meski penuh jebakan. Bahkan, dalam beberapa hal, keduanya bisa memberikan dampak yang sama bagi penikmatnya: mabuk dalam arena ketidakjelasan fungsi dan kemanfaan bagi kehidupan dan (apalagi) keberadaban.

Sebagai produk, “gorengan politik” merepresentasikan suatu makna ahistoris. Sebab produk tersebut tidak dijangkarkan pada kesadaran etis yang sejatinya menjadi pegangan para pelaku politik. Sebaliknya, justru produk “gorengan politik” diletakkan pada kebutuhan industrialiasi makna mempengaruhi pikiran-pikiran (calon) pemilih agar berkubang dan kemembabibutaan dukungan. Dulangan dukungan tanpa saringan akal budi itulah yang dikehendaki para pelaku ketika mereproduksi isu-isu tertentu dan digoreng pada beragam platform media.

***

Melihat fakta di atas, Indonesia, dengan demikian, layak disebut sebagai “Republik Gorengan”. Frasa ini seperti merepresentasian berbagai hal: pikiran dan perilaku politik, semangat dan wujud budaya, serta pilihan-pilihan tindakan ekonomi. Keseluruhan entitas (perilaku, semangat, dan tindakan) ini menyatu dalam suatu kesatuan utuh. Tentu dengan mengumandangkan Republik Gorengan tidak serta merta merendahkan atau mereduksi kesucian NKRI. Ia justru hadir untuk menarasikan kebenaran yang selama ini dimonopoli oleh sekelompok orang. Republik Gorengan harus menjadi semcam otokritik atas pribadi yang selama ini merasa besar sendiri dan akhirnya kehilangan segalanya.

[terbit di RMOL]

Tinggalkan Balasan