Masa Depan Kota Pasca Pandemi

Katakanlah, kita semua sudah melewati masa wabah. Bahkan masih ada kejadian beberapa, namun secara umum kita sudah sukses mengatasi pandemi ini. Herd Immunityi yang digadang-gadang sebagai salah satu hipotesis yang dibangun untuk menghadapi masalah manusia saat ini, terbukti.
Lalu, kira-kira bagaimana realitas manusia pasca pandemi? Sebelum menjawab hal ini, mari kita baca dulu realitas hari ini.
Pandemi jelas telah menggerus sebagian sumberdaya manusia (SDM) yang menghuni planet ini. Sebagian dari mereka yang wafat adalah SDM dengan berbagai kompetensi yang khusus dan susah diciptakan. Siapapun mereka ini, entah berprofesi sebagai nakes, dokter, insinyur, seniman, musisi, aktris dan sebagainya, tetap merupakan subyek yang unik dan telah mengisi ruang sosial manusia di abad ini. Kehadiran mereka telah mengharubiru ummat manusia. Sehingga kepergian mereka tidak (akan) pernah tergantikan.
Pandemi juga jelas telah meluluhlantakkan perekonomian kita. Banyak sektor yang sejak lama kokoh berdiri, berkontribusi pada kesejahteraan sebagian ummat manusia, kemudian saat ini ada yang tumbang total, atau roboh sebagiannya.
Namun pandemi juga telah menggedor kreativitas sebagian dari ummat manusia, sehingga mereka dengan kreasi dan kreativitasnya, berhasil mendulang kesuksesan dan menambang kesejahteraan. Mereka ini bergerak ketika semua sedang merasakan buntu dan jumud. Memecahkan kebekuan itu dengan semangat pantang menyerah, sampai akhirnya kemudian menemukan jalan pencerahan. Kalangan ini bukan hanya menyalakan “lilin” bagi dirinya, tetapi juga membaginya dengan orang lain. Meski belum mengatasi problematika pandemi, namun mereka menjadi subyek yang mengerek semangat optimism, sehingga kita tetap mampu memiliki harapan.
Di mana mereka itu. Sebenarnya mereka tidak terpisahkan. Di kota, di desa, di pegunungan, di pesisir pantai, di tempat sunyi maupun yang terbuka, di lab dan di pasar. Pokoknya semua ada. Semua berperan untuk menyelamatkan spesies manusia dari kepunahan sistematis ini.
Masa Depan Kota
Kota-kota sudah lama menjadi tonggak peradaban. Kota telah menjadi subyek yang diikuti, difollow banyak pihak, karena dipercaya sebagai kiblat bagi perubahan menuju kemajuan.
Lalu, di masa pandemi, meski desa-desa telah menjadi oase untuk mereka yang tercebur pada kegalauan, namun titik kulminasi kegelisaan dan rasa ingin memberontak pada kejumudan, tetaplah di kota. Pun, terobosan-terobosan ketika pandemi telah membuat kegaduhan, kota dengan melalui jalan sunyi, terus mencari cara untuk menyelamatkan kemanusiaan. Kota tanpa manusia; bukan kota lain. Melainkan hanya seonggok bekas peradaban.
Namun harus diakui bahwa SDM yang disebutkan di atas, yang sudah pergi mendahului itu, kebanyakan merupakan manusia kota. Mereka telah mewarnai kota dengan keindahan kreasi dan intelektualitas serta integritasnya. Sehingga kepergian mereka adalah guncangan yang demikian nyata bagi kehidupan kota.
Sehingga bisa diraba dari sekarang, bahwa masa depan kota, pada awal-awal pandemi bisa ditaklukan, masih harus tarik nafas sebelum bisa berlari kencang seperti dulu; seperti sebelum pandemic terjadi.
Alasannya sederhana, SDM-nya terbatas. Terutama pada SDM yang memiliki kualifikasi tinggi. Contoh saja, selama pandemi telah 640 dokter wafat dan 1.141 tenaga kesehatan. Menghasilkan SDM seperti mereka bukanlah hal mudah cepat. Sehingga di sinilah ritme sosial akan sedikit terganggu.
Selain itu, pasca pandemi pun, kita akan terengah-engah mengelola sistem pendidikan. Meski transformasi terjadi dari luring ke daring atau blended learning, namun kegagapan itu akan terjadi dan itu pasti akan memerlukan waktu juga untuk beradaptasi.
Namun demikian, masa depan kota tetap cerah. Masyarakat akan kembali mengefektifkan waktu dan energi karena akan ada banyak hal yang kemudian terbatas. Misalnya, durasi buka tempat nongkrong, tempat wisata, atau belanja akan mulai menyesuaikan dengan daya beli dan waktu masyarakat. Syukur-syukur kota akan memiliki sistem baru dalam mengelola kehidupan di dalamnya. Mal, resto, café, bahkan sekolah dan kantor, dibuka dengan durasi lebih pendek. Sehingga semua orang bisa mengkalkulasi waktu yang dibutuhkan untuk berada di tempat-tempat tersebut.
Begitupun sistem budaya. Pendidikan akan semakin meluas daya jangkaunya, karena sebagian bisa diakses secara daring; seminar, workshop, dan pertemuan-pertemuan akan dilakukan secara hybrid. Pemerintah akan mengatur efektivitas perjalanan dinas, sehingga tidak banyak ASN yang berseliweran menghabiskan waktu di jalan.
Begitupun perusahaan akan mengadopsi sistem baru, di mana sebagian karyawannya akan banyak mengerjakan pekerjaannya di rumah. Sehingga kebutuhan space menjadi berkurang, dan akhirnya mereka lebih efektif mengakumulasi kekayaan perusahannya.
Akibat lainnya dari sistem demikian, maka kendaraan di jalanan akan berkurang. Toh sebagian orang tidak membutuhkan kendaraan lagi untuk ke tempat kerja, karena WFH (work from home). Sehingga alam akan menuai keindahan setelah sekalian lama kelelahan ditaburi polusi dari kendaraan.
Apakah semua hal positif itu bisa terjadi? Kita tunggu saja.

Telah terbit di: https://rm.id/baca-berita/nasional/86400/masa-depan-kota-pasca-pandemi

Tinggalkan Balasan