Hampir sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa Covid-19 berdampak besar kepada industri pariwisata. Studi yang dilakukan oleh Ashikul Hoque dkk. (2020) tentang dampak corona di Tiongkok, mengkonfirmasi bagaimana dampak pandemi pada ditundanya berbagai perjalanan wisata ke Tiongkok maupun ke luar negeri. Secara agregat, miliaran perjalanan wisata dipending untuk waktu yang belum bisa diperkirakan.
Akibat “terhentinya” pergerakan manusia untuk melakukan perjalanan wisata ini, maka banyak agensi perjalanan dan sarana penunjangnya seperti perusahaan maskapai yang terancam “gulung tikar”. Akankah pandemi covid-19 memusnahkan industri pariwisata?
Hasil penelitian diatas sebenarnya bisa dikatakan hanya memperkuat bukti bahwa virus korona ini memberikan pengaruh signifikan kepada kehidupan manusia, termasuk salah satunya adalah industri pariwisata. Keadaan ini tentu tidak bisa dibiarkan. Sebab, pergi melancong merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Kebutuhan melancong, bertamasya, atau piknik semakin meningkat terutama sebelum pandemi, karena berkorelasi positif pada banyak hal, antara lain: Pertama, berwisata memberikan dampak membaiknya psikologi pelaku, terutama mereka yang selama berhari-hari larut dalam kehidupan rutin pekerjaan. Sehingga dengan melancong, bukan hanya kepenatan yang terlepaskan dari rutinitas, tetapi juga seperti men-charging energi baru untuk menghadapi dunia rutin di hari dan minggu berikutnya.
Rutinitas kerja adalah raksasa pembunuh yang sudah lama diidentifikasi para ahli. Karl Marx (1818-1883) menyebutkan bahwa kerja adalah biang dari keterasingan manusia. Dalam kerja ada mesin dalam bentuk sistem yang mengelola sumber daya energi manusia untuk melakukan sesuatu sesuai sistemnya.
Dunia kerja sendiri seperti mesin raksasa yang relasi antar entitasnya sangat besar dalam melibatkan sub-sistem yang rumit dan detail. Contoh, seseorang yang sedang asyik membereskan perhitungan pajak sebuah perusahaan kecil, sesungguhnya ia tidak sendirian. Bisa jadi ia merupakan sebuah sekrup pada suatu sistem besar mulai dari dinas pemerintah, sistem keuangan, dan sebagainya.
Mesin besar inilah yang mengatur sebagian kehidupan manusia dalam satu frasa rutin. Ketika manusia hidup dalam alam rutin tersebut, maka energi tubuhnya tersedot setiap kali menggunakannya. Sehingga dalam skala waktu tertentu, diperlukan berwisata untuk melakukan semacam re-charging pada tubuhnya itu. Sehingga produktivitas yang sudah menurun itu akan meningkat kembali.
Kedua, pariwisata adalah industri penunjang dalam sistem industri besar yang kontribusinya bukan hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada masyarakat sekitarnya. Sehingga daerah-daerah wisata umumnya memiliki tingkat kesejahteraan lebih tinggi dibanding daerah yang bukan destinasi wisata.
Hal ini terjadi karena destinasi wisata bukan wilayah dimana orang-orang yang hadir di dalamnya untuk berbisnis konvensional. Sehingga nilai keuntungan yang ada dalam pariwisata, khususnya di daerah destinasi, bukan lagi hal-hal yang sifatnya material, namun justru meta-materi atau malah spiritual.
Contoh, mengapa orang berduyun-duyun melakukan wisata ziarah ke beberapa destinasi. Mereka berani mengalokasikan sumber daya waktu, tenaga, dan biaya untuk mencapainya. Karena para peziarah ini bukan membayar materi, tetapi membayar meta-materi yang manfaatnya hanya bisa dirasakan oleh mereka sendiri.
Berwisata adalah upaya sublimasi diri antara pelaku dengan tujuan. Di mana kesenangan yang tumbuh mulai dari persiapan, perjalanan, tujuan, sampai pulang kembali, merupakan proses penghapusan rasa lelah karena rutinitas yang didapuk selama ada dalam dunia kerja. Oleh karena itu, wisata akan menjadi kebutuhan umum manusia sampai kapanpun.
Namun, seperti penghapus pada papan tulis, pandemi telah menghapus rangkaian cerita indah tersebut. Semua terhenti dan tidak tahu kapan akan kembali catatan-catatan perjalanan tersebut akan kembali ditulis, digambarkan, dan divisualisasikan.
Beruntung, manusia sudah menemukan teknologi untuk melayani berbagai kebutuhan itu. Teknologi telah mempermudah manusia melarung waktu dan jarak melalui berbagai kemudahannya. Siapa nyana, kita di saat yang bersamaan bisa menyaksikan pemilihan Presiden Amerika Serikat, misalnya. Teknologi telah membuktikan itu dengan nyata kepada kita.
Maka dari itu, untuk melanjutkan cerita tentang perjalanan wisata umat manusia, sudah sejatinya kita melakukan optimalisasi teknologi ini. Kementerian Pariwisata, Akademisi kampus, swasta, dan perwakilan para wisatawan harus duduk bersama mencari dan menemukan teknologi pariwisata ini. Sebab jika tidak, pariwisata yang menjadi bagian dari kehidupan umat manusia, bisa tinggal cerita.
Setiap pihak bisa memberikan perannya, dengan tetap melihat irisan yang bisa disinergikan. Pihak pemerintah menyediakan regulasi yang mengatur tata kelola teknologi yang akan menopang industri pariwisata ini. Sedangkan akademisi melakukan riset komprehensif mengenai jenis, bentuk, serta dampak dari teknologi yang dibuat atau disediakan.
Pihak swasta bisa menjadi donatur dalam proses pengkajian teknologi, atau melakukan riset sendiri dengan tetap melibatkan unsur lainnya. Adapun perwakilan masyarakat turis atau wisatawan menjelaskan kebutuhan teknologi seperti apa yang bisa membuat mereka menemukan kembali pariwisata yang selama ini menjadi bagian dari hajat hidup mereka itu.
Jika kita melihat sejarahnya, di Indonesia pariwisata sudah diperhatikan sejak jaman Hindia-Belanda. Sebuah jawatan khusus yang dibentuk memiliki peran penting dalam mendorong pariwisata di kawasan Hindia-Belanda. Jawatan tersebut bernama Vereniging Toeristenverkeer (VTV) yang berdiri di Batavia Tanggal 13 April 1908 (Sunjayadi 2019). Melalui VTV industri pariwisata dikelola dengan serius oleh pemerintah waktu itu.
Penataan industri pariwisata pun dilakukan dengan cara promosi, edukasi, dan fasilitasi. Terkait dengan fasilitasi, salah satu yang ditekankan adalah peningkatan kapasitas dan kualitas infrastruktur penunjang. Meski pemerintah belum spesifik melakukan peningkatan kualitas tersebut, sebab pada kenyataannya masih menumpang pada agenda sarana transportasi untuk kepentingan penguasaan tanah jajahan, namun dampaknya cukup terasa bagi wisatawan waktu itu.
Dari aspek partisipasi pariwisata oleh masyarakat pun sudah mulai tumbuh di beberapa entitas. Contoh di Priangan waktu itu, kelompok-kelompok seni budaya sudah mulai hadir dan mengadakan pertunjukan profesional di depan para wisatawan (Lombard 2000). Artinya keadaan ini menunjukkan adanya relasi yang erat antara sarana penunjang pariwisata dengan penunjang pariwisata itu sendiri.
Oleh karena itu, seperti yang sudah dijelaskan di awal bahwa teknologi harus menjadi sarana untuk menjembatani “kekosongan” saat ini sangat tepat. Meski tentu tidak sesempurna kunjungan nyata ke titik-titik destinasi, namun setidaknya kita tidak akan kehilangan cerita tentang wisata yang sudah menjadi bagian dari tulisan sejarah hidup kita.
Teknologi Apa
Selama ini, jika kita membicarakan teknologi yang dikembangkan untuk pariwisata masih banyak yang sifatnya teknologi tersier dan atau penunjang saja. Seperti teknologi yang melayani kebutuhan akomodasi, informasi, dan hal-hal yang serupa dengan itu. Teknologi pariwisata lain yang cukup berkembang adalah teknologi-teknologi yang langsung hadir di titik destinasi. Seperti di beberapa destinasi ada yang menghadirkan arena salju padahal jelas-jelas ini ada di Indonesia yang tidak ada saljunya.
Tentu saja apa yang sudah hadir tersebut cukup positif karena menjawab kebutuhan beberapa wisatawan yang haus akan pengalaman wisata. Namun apakah itu sudah cukup, terutama di masa ketika semua “kemewahan” tersebut di¬offkan untuk sementara.
Di sinilah teknologi perlu hadir menjawab itu. Teknologi pariwisata terbaru yang bisa memberikan beberapa pengalaman berwisata secara virtual misalnya, atau pengalaman lain yang membuat kita tetap tidak berhenti menuliskan kisah perjalanan kita sebagai manusia.
Telah terbit: https://akurat.co/gayahidup/id-1266477-read-penguatan-infrasrutruktur-teknologi-wisata-di-masa-wabah?page=3