Pandemi Dan Ancaman Fragile Societies

Oleh: Tantan Hermansah
(Pengajar Sosologi, Ketua Prodi Magister KPI UIN Jakarta, Pengurus IKALUIN)

Satu tahun lebih pandemi melanda bangsa Indonesia dan tampaknya belum akan cepats melandai. Selama ini, posisi sebagian masyarakat lebih kepada bertahan. Di mana mereka yang kemudian terpapar atau tidak terpapar sama-sama harus memiliki kesabaran dalam melewati masa ini.
Di sisi lain, pandemi satu tahun ini berhadapan dengan kondisi riil masyarakat, yakni terganggunya pola-pola pencarian nafkah sebagian masyarakat, yang kemudian merembet kepada terganggunya kebutuhan lain seperti pemenuhan kebutuhan sekunder seperti bersilaturahmi, berwisata, kumpul-kumpul dan sebagainya.
Padahal, sudah menjadi pengetahuan bersama, sebagian nilai tambah ekonomi pada masyarakat Indonesia dihasilkan dari mobilitas. Wisata ke tempat-tempat baru, berziarah, bersilaturahmi, kongkow dan kumpul-kumpul merupakan satu di antara model ekonomi berbasis mobilitas. Maka ketika itu disekat, dihentikan, dampaknya sudah bisa langsung dibaca: terganggunya sistem penyangga kesejahteraan masyarakat.
Fragile Societies
Apa itu fragile society? Istilah fragile society muncul sekitar tahun 2015 lalu, ketika sejumlah akademisi dan PBB (UN) melakukan riset di kota-kota kawasan Afrika. Dari sana mereka kemudian merumuskan indikator atau pilar kota yang fragile, yaitu: kemiskinan, kriminalitas, dan bencana.
Meski istilah ini bisa dikatakan tumbuhnya untuk studi yang berbasis kota-kota di Afrika, namun temuannya kemudian hasil assessment lapangan ini kemudian bisa dipergunakan untuk menganalisis kota-kota lain di dunia yang memiliki karakter sebaliknya, yakni kota-kota yang kuat dan jauh dari fragile. Jadi ada kota-kota yang memiliki kerentanan atau kerapuhan luar biasa; namun ada juga kota yang memiliki kekuatan.
Setiap karakter kota tersebut, disangga oleh beragam tindakan sosial masyarakatnya dalam membangun relasi antar anggota dalam masyarakat tersebut. Sehingga teridentifikasinya suatu kota sebagai kuat atau rapuh sangat tergantung kepada ragam tindakan masyarakat dalam (wilayah) kota tersebut.
Fragile societies disangga oleh tiga faktor utama: kriminalitas, kemiskinan dan peristiwa bencana. Dua hal pertama: kriminalitas dan kemiskinan merupakan ekspresi dan visualisasi sosial ekonomi masyarakat kota terhadap lingkungan di mana mereka tumbuh, berkembang, berbudaya dan berkehidupan. Sedangkan yang ketiga, yakni bencana, diidentifikasi dalam konteks sebagai wujud respons masyarakat terhadap suatu peristiwa yang berhubungan dengan alam tempat masyarakat tinggal yang terjadi di lingkungannya. Dari respons tersebut kemudian dilihat apakah masyarakat masih memiliki modal sosial yang kuat untuk menghadapi peristiwa tersebut secara bersama-sama.
Bagaimana realitas ketiga pilar fragile societies saat ini?
Mari kita lihat faktanya. Untuk faktor pertama, yakni kriminalitas, bisa dilihat bahwa pada beberapa bulan setelah bencana covid 19 mulai resmi diakui masuk ke Indonesia pada tahun 2020, kepolisian mengumumkan terjadinya peningkatan angka kriminalitas. Pada pekan ke-21 masih di tahun yang sama, angka kriminalitas terjadi sebanyak 2.735 kasus. Sepekan kemudian meningkat 16,6 persen menjadi 3,177 kasus. Begitu juga peningkatan terjadi ketika tahun 2021 atau di masa bencana masih berlangsung. Di mana pada pekan ke-8 saja, terdapat 5,250 kasus kriminalitas yang kemudian meningkat 0.84 persen pada pekan berikutnya menjadi 5,294 kasus.
Sementara jika kita melihat faktor kedua yakni kemiskinan, pun terjadi realitas yang sama. Di mana selama masa pandemi angka kemiskinan juga terus menaik. Tentu banyak orang akan memiliki kesimpulan yang sama dengan penjelasan BPS yang menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan meningkat. Kemiskinan di perkotaan bertambah 876.500 orang dan di perdesaan bertambah 249.100 orang hanya dalam kurun waktu Maret sampai September saja.
Meskipun banyak pihak bisa menjelaskan bahwa ini merupakan efek dari pandemi global, namun satu hal yang perlu kita sadari bersama bahwa tiga komponen masyarakat rapuh (fragile societies) pertumbuhannya menaik. Maka hal ini bisa dibaca sebagai potensi ancaman bagi kita. Sehingga jika hal ini tidak segera dicermati dan disikapi secara logis dan teliti, maka kerapuhan masyarakat ini bisa menjadi ancaman serius pada tatanan sosial politik bangsa. Karena pilar kriminalitas dan kemiskinan yang merupakan dua komponen fragile seperti sedang diletakkan dalam suatu wadah besar bencana, yakni wabah Covid 19.
Bagaimana ketiga faktor fragile itu bisa menjadi ancaman bagi suatu masyarakat yang kuat, bisa dilihat dari pola berikut. Pertama-tama, setiap faktor (kriminalitas, kemiskinan dan bencana) secara relatif akan berkontribusi pada terjadinya kecemasan massal, kehilangan orientasi baik, dan bahkan pesimis dan nihilis pada keadaan. Selanjutnya, akibat dari kesehatan mental sosial yang terganggu ini, maka akan muncul ketidakpercayaan pada sistem. Sementara di sisi lain, dalam skala yang kecil-kecil ketidakpercayaan pada sistem diekspresikan dalam ragam tindakan kriminalitas. Tindakan-tindakan kriminalitas ini dilegitimasi oleh pelakunya dengan beragam argument, seperti kebutuhan mendesak, ketiadaan peduli dari tetangga, dan sebagainya.
Jika ketidakpercayaan (distrust) ini terus berlanjut maka pasti akan menggerus kekuasaan yang ada. Sebab walau bagaimanapun, masyarakat yang mengidap kecemasan dan kehampaan harapan akan lebih mudah dirasuki ketidakpercayaan ini.
Ketidakpercayaan publik adalah musuh utama penguasa. Sejarah sudah lama mencatat bahwa setiap rejim yang jatuh atau diganti pada pergantian sistem, diakibatkan adanya diskontinuitas kepercayaan pada mereka. Ketidakpercayaan ini hadir bisa karena beragam. Namun yang terbesar dan paling sering muncul adalah karena ketidakmampuan rejim menjaga amanah dan terjebak pada korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Di sinilah kita melihat bahwa kerapuhan masyarakat ini merupakan akumulasi dari kemiskinan yang tidak teratasi, kriminalitas yang tidak tertangani, dalam suasana bencana yang terus menghantui, sehingga seluruh modal sosial masyarakat terkuras habis.
Sebelum kerapuhan masyarakat ini benar-benar menjadi kenyataan, langkah-langkah mengantisipasinya seharusnya dilakukan. Tentu saja langkah yang terbaik adalah mengatasi secara sistematis melalui model tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Namun langkah-langkah taktis strategis juga diperlukan, terutama untuk mulai mengatasi realitas pertumbuhan kriminalitas dan kemiskinan serta terjaganya kepercayaan publik pada segala upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi bencana ini.
Langkah-langkah taktis tersebut adalah: Pertama, memastikan seluruh infrastruktur politik, ekonomi dan sosial bekerja bersama-sama menyuarakan, menunjukkan, dan melakukan upaya-upaya penting mengatasi ketiga faktor fragile societies ini. Proses mengorkestrasi hal ini bisa dilakukan mulai dari menunjukkan soliditas dan kokohnya perencanaan, penganggaran serta pengawasan anggaran pemerintah untuk mengatasi ketiga peristiwa ini;
Kedua, selain mengorkestrasi infrastrutur politik di pusat dan daerah, juga melakukan upaya engagement dengan seluruh elemen masyarakat sipil, termasuk di dalamnya media dan kelompok-kelompok strategis melalui ragam dialog kritis, terbuka dan mencerahkan. Model-model perdebatan yang kerap terjadi satu arah, harus diatasi dengan pengelolaan wacana yang jauh lebih solid dan argumentatif.
Ketiga, melibatkan unsur akademisi dan kaum profesional untuk sama-sama bahu membahu dalam mengelola realitas sosial yang saat terjadi dan mengembangkan narasi optimistik bahwa meski kita sedang dalam badai pandemi, tetapi kebersamaan semua elemen bangsa akan memberikan kekuatan untuk melewatinya. Kelompok akademik dan kaum professional ini merupakan entitas yang bisa diandalkan untuk meneliti, mengidentifikasi, memetakan dan bahkan menganalisis persoalan-persoalan aktual terkait pandemi dan segala turunannya.

Telah terbit di Koran SINDO

Tinggalkan Balasan