TUGU DAN KOTA

Heboh sebuah tugu di Pamulang Tangerang Selatan Banten yang katanya beda antara rencana dan realisasi, menarik untuk diberikan catatan kritis. Tentu saja tulisan pendek ini tidak akan membahas pada aspek kebijakan dan proses pengadaannya. Tetapi ingin meletakkan pentingnya sebuah tugu dalam konteks kehidupan sosial budaya masyarakat kota.

Setiap kota membutuhkan tugu. Sebab sebuah tugu di sebuah kawasan akan menjadi penanda banyak hal bagi kota tersebut. Mari kita bedah satu persatu sesuai fungsi sosiologisnya.

Bagi kalangan biasa, atau awam, maka tugu bisa menjadi penanda untuk menunjukkan posisi. Misalnya ketika berhubungan dengan seseorang yang ingin menegaskan di mana ia berada, maka suatu tugu akan sangat bermanfaat. Ia akan mengatakan, tempat tinggal saya di dekat tugu “ini”. Dengan demikian, maka mereka yang mencarinya bisa dengan mudah menemukan karena petunjuknya jelas.

Bagi kalangan menengah dan elite, fungsi sebuah tugu meningkat. Tugu bukan hanya sebagai penanda kehadiran dan posisi. Tetapi ia juga memiliki fungsi simbolis dan budaya yang menunjukkan fase sebuah ruang dan waktu. Misalnya sebuah tugu yang beraliran realis, atau surealis, akan menyiratkan jaman apa tugu itu dibangun.

Sehingga tugu bukan sekadar ada, tetapi juga sebuah cerita yang memberikan tanda pada sebuah realitas sejarah. Maka bagi kalangan ini, tugu pada sebuah titik menjadi penting sekali, mulai dari desain, pesan kultural yang ingin disampaikan, dan makna futuristiknya.

Bagi kalangan kedua ini, sebuah desain tugu sangat menentukan posisi sosial budaya mereka di tengah kancah kehidupan. Maka lihat saja, para pengembang kelas menengah atas, tidak segan-segan berinvestasi untuk menghadirkan tugu-tugu dengan desain yang bagus, keren, dan (jika mungkin) timeless. Sebab sudah terbukti bahwa kehadiran sebuah tugu pada sebuah kawasan, akan mengangkat kawasan itu secara komersial dan budaya.

Dalam konteks seperti di atas, kita bisa memahami mengapa sebuah tugu sangat penting dihadirkan pada sebuah kawasan tertentu, terutama kota. Sebab dalam sebuah tugu, sebenarnya juga hadir makna-makna mitis yang akan sampai kepada masyarakat. Sehingga jika sebuah tugu dibuat ala kadarnya, makna mitis dari tugu tersebut akan sampai kepada masyarakat dalam bentuk persepsi buruk mengenai aktor yang membangunnya.

Lihat saja mengapa banyak kota di dunia berinvestasi sangat besar untuk membangun atau membuat sebuah tugu ikonik di kotanya. Tugu-tugu itu langsung seperti memberikan pesan yang banyak kepada masyarakat dan pengunjung, tanpa harus menaburkan kata-kata dan narasi.

Contoh beberapa tugu ikonik bisa disebutkan di sini: Menara Eiffel, Prancis; Menara Pisa, Italia; Patung Liberty, Amerika Serikat; Sydney Opera House, Sydney, Australia; Taj Majal, India; Big Ben, Inggris; Tokyo Tower, Jepang.

Juga di Indonesia seperti Tugu Monas, Jakarta; Jam Gadang, Bukittinggi, Sumbar; Patung Ikan Sura dan Baya, Surabaya, Jawa Timur; Tugu Jogja, Yogyakarta dan Garuda Wisnu Kencana, Bali. Semua itu menunjukkan dan menandakan pesannya masing-masing kepada publik.

Sejatinya capaian-capaian peradaban sebuah kota bisa diekstraksi pada sebuah tugu. Sehingga kehadirannya tidak hanya menjadi monumen kenangan, namun lebih jauh, menjadi penanda akan sebuah fase peradaban.

Dalam konteks tugu di Pamulang, Tangerang Selatan yang membuat heboh itu, sudah selayaknya memang publik mengkritisinya. Bukan hanya masalah rumor karena tidak sesuai dengan desain awal yang juga bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan audit, tetapi pada aspek sosial, budaya dan (bahkan) ekonomi yang dihasilkan karena kehadiran sebuah simbol kota.

Maka dari itu Pemerintah Kota Tangerang Selatan tidak bisa berlepas diri dari kehadiran tugu ini. Pemerintah Kota perlu mengundang stakeholders kota untuk mendiskusikan sebagai intersubjektif akan kehadiran tugu ini. Mengingat dalam konteks apapun, tugu itu ada di Tangerang Selatan, serta publik yang diharapkan mendapatkan manfaat dari tugu tersebut pun pasti lebih banyak warga Tangerang Selatan itu sendiri. 

[Penulis adalah Doktor Sosiologi dari Universitas Indonesia (UI), Pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan pemerhati Wisata Kota]

Tinggalkan Balasan