Membaca Mudik sebagai Fenomena Sosiologis

Indonesia merupakan negara dengan entitas sub-kultur yang kaya dan beragam. Dari keragaman ini, kemudian memunculkan satu budaya yang indah: Indonesia. Proses ekstraksi budaya ini kemudian ragam ekspresi ketika nilai-nilai budaya “berdialog” dengan nilai-nilai agama. Salah satunya adalah budaya mudik.

Sebagai fenomena tahunan masyarakat Indonesia, mudik sudah dikenal oleh banyak orang. Meski awalnya tradisi ini lahir dari sebagian kalangan ummat Islam yang merayakan kegembiraan karena ingin memperkuat silaturahmi dengn keluarganya di kampung halaman menjelang Lebaran, namun praktiknya saat ini, mudik dilakukan oleh siapa saja tanpa melihat agama dan latar belakang lainnya.

Untuk konteks Indonesia, secara sosiologis para pemudik adalah aktor sosial yang membangun sistem sosialnya sendiri. Hal ini bisa dilihat pada beragam fakta di lapangan. Misalnya, pemerintah daerah berbondong-bondong memperbaiki sarana penunjang kelancaran proses mudik mulai dari jalan, destinasi wisata, tempat peristirahatan, dan sebagainya.

Ada para pemudik yang disambut secara meriah oleh pemerintah lokal. Mereka kerap dianggap sebagai pahlawan kampung halaman. Karena ketika sedang merantau di kota maupun ketika mudik ke kampung halamannya, para pemudik ini tidak pernah melepaskan kepedulian sosial ekonominya kepada penduduk yang tidak bisa atau tidak mau merantau.

Begitu pun pihak swasta. Mereka juga terimbas oleh sistem sosial pemudik ini. Beragam perusahaan transportasi mendapatkan keuntungan besar ketika jaman mudik. Pemilik P.O Bus, travel, kereta, pesawat, kapal laut, semua mendapatkan limpahan berkah dari aktivitas pemudik ini.

Di perjalanan menuju titik tujuan, beragam fasilitas untuk permudik tersedia dengan baik. Mulai dari rest area yang menyuguhkan berbagai hidangan untuk pemudik yang beristirahat sebelum mereka kembali menempuh perjalanannya; sampai kepada berbagai perusahaan yang menyumbangkan sebagian penghasilannya untuk membantu pemudik mulai dari cek kendaraan gratis, kopi gratis, sampai pijat gratis, dan sebagainya.

Artinya, para pemudik ini merupakan entitas istimewa. Mereka memang sudah bersabar untuk menahan diri tidak pulang kampung dulu, tetapi memilih saat menjelang lebaran atau sesaat setelahnya untuk kembali ke kampung halaman. Mereka yang sudah menahan diri ini kemudian berpotensi akan mengalirkan sumberdaya yang dimilikinya di tempat tujuan. Pengeluaran ini bisa berupa kebutuhan rutin, sampai kepada kegiatan berbagi kepada saudara dan tetangga.

Sumberdaya yang besar ini pasti memiliki dampak ekonomi dan sosial di daerah tujuan. Maka wajar jika pemerintah daerah kemudian sangat berterima kasih kepada para pemudik ini.https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?client=ca-pub-4856760029410872&output=html&h=139&slotname=7379219380&adk=2745296645&adf=2123032878&pi=t.ma~as.7379219380&w=555&fwrn=4&lmt=1625653184&rafmt=11&psa=1&format=555×139&url=https%3A%2F%2Frm.id%2Fbaca-berita%2Fnasional%2F76561%2Fmembaca-mudik-sebagai-fenomena-sosiologis&flash=0&wgl=1&uach=WyJXaW5kb3dzIiwiNi4xIiwieDg2IiwiIiwiOTEuMC40NDcyLjEyNCIsW10sbnVsbCxudWxsLG51bGxd&dt=1625653183944&bpp=19&bdt=784&idt=300&shv=r20210630&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3Dd87f01f9ae8161ca-22e11cc837c600f9%3AT%3D1614829383%3ART%3D1614829383%3AS%3DALNI_Ma0fXntfwd4zFeaOk9aGI7HKThu_A&prev_fmts=0x0%2C360x280&nras=1&correlator=6404670342696&frm=20&pv=1&ga_vid=886270069.1614829381&ga_sid=1625653184&ga_hid=1917552079&ga_fc=0&rplot=4&u_tz=420&u_his=11&u_java=0&u_h=768&u_w=1366&u_ah=768&u_aw=1304&u_cd=24&u_nplug=3&u_nmime=4&adx=74&ady=2009&biw=1287&bih=640&scr_x=0&scr_y=0&eid=21066434&oid=3&pvsid=4032797312342052&pem=929&eae=0&fc=1920&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C1304%2C0%2C1304%2C768%2C1304%2C640&vis=1&rsz=o%7C%7CpeEbr%7C&abl=CS&pfx=0&fu=128&bc=31&ifi=2&uci=a!2&btvi=2&fsb=1&xpc=tX6j6RaQMB&p=https%3A//rm.id&dtd=311

Dengan menggunakan teori agensi, maka kita juga bisa membaca peristiwa ini sebagai kekuatan agensi yang wujudkan komunitas besar dalam mendorong terbentuknya suatu struktur. Para pemudik adalah agensi utama yang kemudian direspon dengan baik oleh pemerintah daerah. Sehingga kehadiran mereka bukan hanya sebagai “orang lewat” saja, tetapi mereka adalah tamu yang harus dilayani dengan layanan prima.

Struktur yang merespon tindakan sosial agensi ini kemudian menjadikan ragam kebijakan diarahkan untuk memfasilitasi pemudik ini. Bahkan, meski tidak ada semacam organisasi yang mewadahi entitas pemudik, namun respon pemerintah daerah dan aparat keamanan, seperti sudah satu kata. Artinya, bahwa entitas pemudik telah menghasilkan struktur sebagai respon atas masing-masing tindakan dari pemudik dan aparat pemerintah.

Realitas pemudik ini bisa dikatakan merupakan wujud dari terciptanya dualitas struktur, di mana ada struktur berbasis entitas yang cair dan fleksibel, yakni pemudik. Pemudik juga merepresentasikan apa yang disebut sebagai asosiasi sosial. Sebab, kelompok ini tidak memiliki model struktur permanen, yang terkonsolidasi dan baku.

Berbeda dengan struktur yang lainnya, di mana mereka merupakan entitas lain yang baku dan permanen karena dibentuk berdasarkan regulasi yang jelas, tertata, dan terstruktur, yang diwakili oleh aparat keamanan, pemerintah, maupun kalangan swasta.

Dalam konteks lain, pemudik juga mewakili realitas sosial yang berlapis. Meski mereka menuju ke arahnya masing-masing yang secara geografis berbeda, namun tujuan mereka umumnya tunggal: kampung halaman. Oleh karena itu, proses menuju ke kampung halaman ini semakin menarik untuk didalami lebih jauh.

Pertama, para pemudik menampilkan visualisasi kelas sosial. Di mana mereka ada yang merupakan kelas elit/ atas; menengah, dan bawah. Ketiga entitas kelas ini bisa diwakili dari berbagai hal yang secara kasat mata terlihat seperti: kendaraan yang dipergunakan, penampilan, proses selama di perjalanan, dan bahkan “bekal” yang dibawa. Kelas atas biasanya menggunakan kendaraan pribadi. Kadang dalam menuju destinasi mereka singgah di hotel/ penginapan berkelas. Perjalanan mudik mereka jadikan ruang untuk berwisata dan menikmati perjalanan meski harus mengeluarkan biaya yang cukup besar.

Berbeda dengan kelas atas, kelompok menengah bawah yang juga bisa dilihat pada jenis alat transportasi yang dipilih serta pola perjalanannya. Mereka umumnya menikmati perjalanan dengan segala dinamikanya di jalan. Kadang ada yang lama di kendaraan umum, sepeda motor, atau kendaraan pribadi. Mereka jarang menyiapkan waktu untuk singgah menginap dan piknik dulu diperjalanan. Sebab tujuan mereka hanya satu: kampung halaman.

Kedua, para pemudik juga merupakan wujud dari reproduksi budaya yang sangat lokal. Karena mereka ada dan hadir dalam kultur Indonesia/ Nusantara yang khas. Sebab, seperti kita ketahui, bahwa negara-negara yang jumlah masyarakat penganut agama Islamnya besar, belum tentu memiliki budaya mudik seperti di Indonesia. Budaya mudik di Indonesia direproduksi secara cerdas oleh bangsa ini sehingga memberikan makna mendalam bagi sistem sosial dan tata kelola kehidupan bangsa ini.

Pada aras kedua inilah kita bisa menemukan alasan para pemudik setiap tahun. Mereka akan berusaha mudik ke tujuannya, walau banyak hambatan dan larangan. Proses reproduksi ilmu pengetahuan yang sudah mengalami kristalisasi secara turun temurun itu menunjukkan bahwa menghapus budaya mudik yang sudah menjadi bagian dari kultur bangsa, bisa jadi hanya menghabiskan energi secara sia-sia.

[Penulis adalah Doktor Sosiologi dari Universitas Indonesia (UI), Pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota Komisi Infokom MUI Pusat]

Tinggalkan Balasan