Kota dan PTM

PTM atau Pembelajaran Tatap Muka saat ini menggema seiring dengan optimisme banyak pihak mengenai kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam merespon pandemi Covid-19.

Pemerintah pun kemudian merespons keinginan banyak pihak, terutama pengelola lembaga pendidikan dan orang tua siswa, dengan mengeluarkan beberapa kebijakan, yang basisnya adalah beberapa pembatasan, seperti: jumlah kumpulan siswa dalam satu kelas tidak boleh lebih dari 25%; maksimal tatap muka hanya 2 jam dan 2 hari dalam seminggu, serta tetap menerapkan prokes (protokol kesehatan) yang ketat.

PTM tentu merupakan kebutuhan. Apalagi sebelum adanya pandemi. PTM adalah budaya PBM (Program Belajar Mengajar) yang dilaksanakan untuk mendidik siswa dan mahasiswa pada berbagai insitusi pendidikan.

Hampir semua desain pendidikan diarahkan untuk menunjang kesuksesan PTM ini. Sehingga ketika terjadi disrupsi model pembelajaran dari sistem tatap muka ke daring, tentu saja kebanyakan dari kita mengalami dan merasakan guncangan itu. Lembaga pendidikan, institusi keluarga, dan masyarakat umum, semua merasakan guncangan akibat adanya shifting desain pembelajaran di sekolah atau kampus.

Di masa normal, dampak PTM ini sangat besar kepada masyarakat perkotaan (dan juga sebagian ke masyarakat pedesaan, tentu). Lihat saja, sekolah-sekolah berlomba-lomba membuat program yang “kelas dunia”, berbahasa dunia, kompetisi se-dunia atau antar negara-negara di dunia, serta yang tidak terlewati: bangunan mentereng yang (katanya) kelas dunia. Selain yang levelnya dibuat mendunia, sekolah lain pun berlomba-lomba menawarkan program-program berbasis “menyamankan” customer (dalam hal ini orang tua dan siswa).

Dampak dari semuanya adalah bahwa semua visualisasi itu harus ditopang oleh sumberdaya yang melekat kepada masing-masing. Kualitas pendidikan kepada institusi sekolah/ kampus; dan dana yang tidak murah kepada orang tua siswa/ mahasiswa.

Dampak turunannya adalah ekonomi masyarakat yang hidup. Para pengajar sejahtera, pengelola lembaga makmur, jasa-jasa ikutan seperti catering, antar jemput, tempat makan/ minum, serta tempat nongkrong para orang tua siswa, siswa dan mahasiswa ramai.

Belum lagi kalau institusi pendidikan tersebut mengadakan perjalanan lokal seperti studi banding dalam berbagai modus: dalam kota seperti berkunjung ke museum, regional seperti wisata antar provinsi, bahkan global seperti wisata ke luar negeri, umrah, dan sebagainya.

Jadi kerinduan untuk PTM sebenarnya didorong banyak hal. Kebiasaan yang sudah membudaya dan melekat bertahun-tahun yang kemudian serta merta diputus tanpa ba-bi-bu dan tanpa ampun. Bayangkan saja, biasanya ada orang tua yang menunggui anaknya sambil “ngerumpi” di cafe sampai anaknya selesai belajar, hari ini dipaksakan belajar di rumah dan harus didampingi oleh orang tuanya.

Saat ini, mau dibantu privat atau bimbingan belajar, karena mengandalkan media daring, tetap saja dianggap memberikan tambahan pekerjaan orang tua.

Sementara itu, bagi para pelaku bisnis derivat dari sistem pendidikan, yang sudah banyak berjatuhan karena mereka tidak lagi memiliki akses kepada siswa, lembaga, maupun orang tua, tentu PTM akan menjadi semacam cahaya baru bagi keberlanjutan kehidupannya.

Dapur yang selama ini kadang nyala kadang mati karena tidak ada sumberdaya yang bisa dipanaskan, akan kembali menyala. Begitu juga usaha-usaha (terutama yang kelas Ultra Mikro dan Usaha Kecil) lain seperti ojek, antar jemput, privat ke rumah, dan sebagainya, kembali akan hidup dan mengisi kesibukan hari-hari kota. Di rumah, orang tua akan kembali sibuk menyiapkan sarapan tepat waktu, seragam, dan tentu saja sejumlah dana untuk jajan anak-anaknya dan (tentu saja) dirinya.


PTM telah menjadi harapan banyak orang dan kalangan. Sejatinya pemerintah mendengar dan merasakan denyut ini. Bahkan ketika ekonomi terpuruk karena banyaknya aktivitas yang terhenti (disrupsi), PTM tidak bisa dilihat hanya pada satu aspek: PBM semata. PTM baru yang diterapkan dengan prokes yang ketat, memiliki dampak signifikan pada masyarakat—terutama masyarakat kota.

PTM bisa menjadi daya ungkit ekonomi masyarakat kita yang sudah sejak bawaan memang aktif, produktif dan kreatif. [*]

[Penulis adalah Doktor Sosiologi dari Universitas Indonesia (UI), Pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota Komisi Infokom MUI Pusat]

Tinggalkan Balasan