Vaksinasi: Telaah Sosiologis

Pandemi yang telah berlangsung lebih sepuluh bulan, tentu telah menghasilkan dinamika sosial budaya yang cukup kuat untuk didiskusikan. Berbagai perspektif yang ditawarkan berbagai ahli, telah menghasilkan kekayaan ilmu pengetahuan yang luar biasa.

Sebagai fenomena sosial, peristiwa pandemi ini tidaklah baru. Namun karena setiap peristiwanya selalu menghasilkan konfigurasi baru dalam tatanan sosial kehidupan ummat manusia, maka menganlisis peristiwa ini selalu menarik.

Artikel sederhana ini akan menganalisis fenomena pandemi pada lokus vaksinasi dari sudut pandang sosiologis. Pisau sosiologi dipergunakan dimaksudkan untuk memberikan pengayaan atas berbagai analisis lain yang sudah dilakukan para ahli sebelumnya.

Vaksinasi adalah peristiwa sosial karena di dalamnya mencakup beragam agensi dan aktor serta massa yang cukup banyak dan saling berelasi. Keberelasiannya terjadi dalam berbagai aspek: Tata sikap, Tata nilai, Tata tindak, dan Tata Ajak.

Tata sikap menyangkut hal yang berkaitan pada obyek peristiwa yang terjadi. Misalnya ketika pemerintah menginformasikan bahwa akan ada vaksinasi, maka sikap masyarakat atas informasi tersebut menyangkut kepada tata sikapnya. Seperti kita ketahui, bahwa secara garis besar, sikap publik terbelah menjadi dua: menerima dan menolak.

Mereka yang menampilkan tata sikap menerima maupun menolak biasanya juga menunjukkan sejumlah alasan. Ada alasan yang dibangun secara pure, murni, dan orgininal dengan merujuk kepada sistem logika dan data yang akurat. Namun ada juga yang alasannya justru ikut-ikutan, atau terhegemoni informasi yang bertebar secara liar pada lini media. Tata sikap ini mencerminkan realitas sosiologis masyarakat kita yang memang bisa dikatakan kurang teredukasi secara paripurna, sehingga menyisakan beragam gembok rasionalitas.

Selanjutnya, tata nilai berkaitan dengan keyakinan yang mendasari pernyataan atau tindakannya. Tata nilai bersifat abstrak. Realitasnya hanya bisa dibaca pada tindakan yang tampak, misalnya ketika menerima atau mendukung, atau menolak sesuatu. Dalam konteks tata nilai, penerimaan atau penolakan vaksin misalnya, akan dibarengi dengan narasi yang berbasis pada hal-hal abstraktif, seperti kaidah yang ada dalam agama atau kepercayaan. Pengutipan ayat-ayat atau dalil lainnya dipergunakan untuk memperkuat argumen baik yang mendukung atau yang menerima.

Tata tindak adalah refleksi paling nyata dan bisa diidentifikasi ketika tata nilai diekspresikan dalam realitas atau ruang sosial. Tata tindak ini bisa ditunjukkan secara verbal seperti menyatakan secara terbuka dan bisa diketahui oleh banyak orang, atau secara tertutup seperti pada gestur tubuh atau mimik wajah. Intinya adalah tata tindak merupakan wujud nyata yang bisa dipahami oleh orang lain ketika merespon sesuatu isu: menerima atau menolak. Misalnya dalam konteks vaksin, mereka yang membuat produk-produk untuk menyakinan masyarakat (pubik) untuk menerima atau menolak merupakan bentuk dari tata tindak ini.

Terakhir adalah tata ajak. Tata ajak merupakan bentuk tindakan yang tidak hanya berakhir pada diri sendiri, tetapi sudah dimaksudkan untuk menjadikan orang lain sebagai bagian dari keyakinan dan tindakannya. Dengan kata lain, tata ajak menyangkut berbagai cara dalam memproduksi, mereplikasi, mendistribusikan berbagai informasi tentang suatu hal. Dalam konteks vaksin, tata ajak adalah beragam narasi yang diproduksi dan berbentuk ajakan, himbauan, dan informasi apapun yang berkaitan dengan tindakan untuk menerima atau menolak vaksinasi.

*

Berangkat dari empat model relasional yang mewujud dalam Tata sikap, Tata nilai, Tata tindak, dan Tata Ajak tersebut, maka kita bisa memahami posisi vaksin dalam masyarakat. Baik mereka yang menerima atau yang menolak sebenarnya merupakan realitas sosial yang punya pijakan—selembek apapun pijakan argumentasi mereka.

Namun demikian, realitas paling valid menyuguhkan satu fakta tidak terbantahkan bahwa pandemi covid 19 ini telah mengakibatkan banyak hal, dan bahkan bisa dikatakan cukup “mengganggu” kehidupan sosial masyarakat saat ini. Di Indonesia saja, warga yang terdata secara resmi terpapar virus ini sudah melebihi delapan ratus ribu orang, dengan prediksi masih akan terus bertambah. Artinya perlu dilakukan langkah-langkah yang strategis agar pertumbuhan mereka yang yang terinveksi semakin menurun.

Salah satu cara yang sampai saat ini masih paling masuk akal adalah melakukan vaksinasi massal. Ketika informasi akan dilakukan vaksinasi tersebut maka kita bisa melihat bagaimana tata sosial yang terwujud dalam empat tata di atas muncul mengharu-biru kehidupan sehari-hari kita. Sehingga muncul “meme” atau pernyataan dalam berbagai platform yang kurang lebih berbunyi “jika sebelumnya kita takut virus, sekarang takut divaksin”.

Menanggapi dinamika tersebut maka perlu dilakukan beberapa langkah strategis yang berbasis pada keempat tata tersebut. Pertama, pada tata sikap, maka langkah yang sudah diambil oleh pemerintah dengan menampilkan para pemimpin sebagai orang-orang pertama yang divaksin cukup ampuh meredam kegamangan publik. Ketika Presiden, perwakilan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan sebagainya tampil, menunjukkan perilaku dan sikap keteladanan; Kedua pada tata nilai, selain para pemimpin pemerintahan juga kemudian narasi diperkaya dengan dikeluarkannya fatwa halal oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang tentu saja menjadi landasan penggunaan vaksin ini dari perspektif agama. Seperti kita ketahui, bahwa dukungan fatwa ini sangat penting untuk menanggulangi persoalan wabah covid 19 melalui upaya vaksinasi.

Ketiga pada tata tindak pun demikian. Meski masyarakat masih menunggu kelanjutan dari apa yang sudah diperliharkan di depan masyarakat pada berbagai media, informasi bahwa ketersediaan vaksin masih terus diupayakan agar daya jangkaunya lebih meluas dan merata sangat patut diapresiasi. Paling tidak, mereka yang sebelumnya secara aktif dan pasif akan menolak pun, bisa luluh dan ikut dalam gelombang vaksinasi. Keempat, pada aras tata ajak yang memang masih perlu ditingkatkan. Kampanye vaksinasi yang muncul di beragam platform itu masih belum cukup menghalau narasi penolakan yang juga cukup masif. Oleh karena itu kampanye vaksinasi perlu ditingkatkan.

* Tentu saja upaya vaksinasi secara menyeluruh merupakan pekerjaan besar dan berat. Namun demikian, pekerjaan ini harus dilakukan karena kita nyaris tidak memiliki pilihan selain melaksanakannya. Bahwa ada dinamika sosiologis yang terjadi pada masyarakat, tentu tidak mesti membuat tugas ini berhenti atau tersendat. Justru sebaliknya, kita semua harus bahu membahu menyukseskan agenda vaksinasi ini, sebab pertaruhannya bukan hanya bangsa hari ini, tetapi juga di masa mendatang.

Oleh: Tantan Hermansah

(Ketua Program S2 Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta; Sekjen Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam P2MI)

Tinggalkan Balasan