Menjaga Kreativitas Kota di Masa Wabah

Melihat ulasan berbagai media terkait keadaan umum yang melanda kota, salah satu masalah yang muncul adalah menurunnya produktivitas. Sebagai ruang produksi untuk berbagai produk budaya manusia, maka ketika masalah produktivitas warga kota terganggu, bisa dipastikan bahwa aspek-aspek lain dari sistem kehidupan manusia akan terganggu juga.

Menurunnya produktivitas ini memang bisa dijelaskan secara logis dan sistematis. Salah satu alasannya antara lain adalah menurunnya permintaan dan atau berkurangnya suplai barang dan jasa, sehingga menyebabkan ada upaya rasionalisasi untuk meresponnya. Alasan lain adalah kebijakan pemerintah yang ditujukan dalam rangka mengendalikan penyebaran virus Covid 19 sehingga masyarakat dikerangkai oleh struktur New Normal yang meliputi pembatasan sosial.

Namun apakah keadaan ini akan dibiarkan saja seperti ini. Sementara kehidupan harus tetap berjalan, dan kebutuhan manusia akan hal-hal dasar (primer) bersifat tetap. Dengan bahasa yang sederhana, manusia tetap perlu mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan papannya. Sebab ketinya merupakan kebutuhan dasar yang wajid tersedia walau dalam kondisi apapun.

 Salah satu semangat dan aksi yang perlu dijaga adalah kreativitas. Kreativitas merupakan agregasi antara imajinasi tentang sesuatu (bisa yang sudah ada atau yang baru sama sekali) dengan kebutuhan riil masyarakat saat ini, yang jika keduanya dipertemukan, maka akan menghasilkan nilai tambah.

Sebagai contoh: sebuah produk kuliner yang biasa dipajang di resto atau “ruang publik”, karena pandemi terpaksa berpindah tempat ke dapur sang pemilik produk. Tanpa sentuhan kreativitas, maka produk kuliner tersebut bisa jadi teronggok tidak berdaya dan menunggu “mati”. Berbeda dengan ketika produk tersebut disentuh oleh semangat dan aksi kreatif. Maka produk kuliner tersebut kemudian bertransformasi dari produk dimakan langsung, menjadi produk dibungkus dan kemudian dijual secara daring. Ada dua tindakan yang harus diputuskan oleh sang empunya produk: menunggu situasi mereda; atau melakukan perubahan radikal untuk menimba untung di tengah situasi yang tidak pasti.

Era saat ini sering disebut sebagai era disrupsi dan VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity). Disrupsi secara singkat bisa diartikan segala hal bisa “dihentikan” secara mendadak dan tanpa tedeng aling-aling. Sedangkan VUCA merupakan pilar-pilar yang berkontribusi secara tidak langsung pada disrupsi tersebut.

Di tengah-tengah dinamika yang sangat kompleks, kontekstualisasi tindakan sangat diperlukan. Kesadaran akan realitas yang tidak bisa diprediksi secara jangka panjang menyebabkan banyak pihak mengolah kesadaran potensiannya, menjadi kesadaran aktual. Artinya, setiap pihak selalu berfikir dan bertindak yang berbasis pada pertimbangan jangka pendek terlebih dahulu, sebelum akhirnya mengaitkannya dalam perspektif jangka panjang.

Kreativitas = Produktivitas

Saat ini banyak warga kota yang mengalami masalah pemenuhan kebutuhan kebutuhan dasarnya karena berbagai sebab: diberhentikan dari pekerjaan, dipekerjakan dengan upah minimal, dirumahkan sementara, serta berbagai sebab lainnya. Akibat umum yang kemudian terjadi adalah menurunnya daya beli masyarakat. Oleh karena daya beli yang merosot inilah maka banyak sektor riil terancam tidak bisa berproduksi normal, atau malah terhenti sama sekali.

Dari sini rembetannya banyak. Beberapa mengambil jalan pintas, seperti mengalokasikan aset hasil tabungan selama bekerja untuk menjadi modal kerja seperti dagang dan sebagainya; sebagian lagi usaha serabutan, pulang ke kampung, atau malah menganggur sambil menunggu kesempatan.

Jadi bisa kita hitung, sebagian besar tenaga produksi yang sebelumnya aktif, sekarang tidak termanfaatkan karena berbagai sebab itu. Sementara menjatuhkan perputaran ekonomi pada sebagian kecil yang masih berproduksi seperti ASN, BUMN, dan perusahaan yang terus bertahan untuk beroperasi (terutama sektor industri kesehatan dan makanan minuman) pun tentu tidak cukup kuat.

Beruntung pemerintah kemudian sedikit menopang perputaran ekonomi berbasis konsumsi dengan dengan menyalurkan berbagai bantuan kepada masyarakat. Selain itu, ASN pun diminta untuk menjadi pejuang ekonomi dengan membelanjakan hasil gaji bulanannya.

Di sinilah pemerintah dan berbagai pihak harus sama-sama menjaga, merawat, dan mengembangkan kreativitas. Karena tidak bisa kita hanya mengandalkan sektor yang ada. Kreativitas mulai dari produknya, tata cara pemasaran, area pemasaran, dan sebagainya.

Di sisi lain teknologi sedikit banyak menjadi penolong para kreator untuk memperluas pemasarannya. Sehingga barang-barang produksi tidak hanya berputar di situ-situ saja. Contohnya Baso Aci, makanan camilan khas Garut yang sedang tren saat ini pemasarannya meluas tidak hanya di Garut Bandung atau Jawa Barat. Baso Aci telah “mewarnai” ragam makanan camilan di berbagai daerah di Indonesia. Para kreator baso aci terberkahi dengan adanya market place yang membantu mereka memperluas pasar.

Arah Kebijakan

Untuk menjaga dan mengembangkan dinamika kreativitas sehingga menjadi virus massal, maka beberapa hal sebaiknya dilakukan oleh pemerintah, sepertli: Pertama, memperkuat agensi kreatif di setiap daerah. Bahkan jika perlu diberikan insentif kepada kreator ini agar mereka selain aktif memproduksi produk kreatifnya, tetapi juga menularkan semangatnya tersebut ke orang lain, minimal tetangga di sekitarnya; Kedua, memperkuat data base kreator dan produk kreatifnya. Data base ini akan sangat membantu siapapun yang menggali, mencari, dan mendalami ide-ide suatu produk secara kreatif. Sebab kadang kreativitas sangat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti ilmu pengetahuan, inspirasi, contoh, dan lingkungan.

Ketiga, memperkuat data base pasar tempat produk-produk kreatif itu tersebar. Jangan sampai suatu produk terpusat di sebuah lokasi, dan tidak lagi mengembangkan diri ke tempat lain. Keempat, mendorong sublimasi sosial pada aksi-aksi kreatif yang kemudian bisa memberikan dampak riil kepada masyarakat yang bersentuhan dengan karya-karya kreatif. Sublimasi sosial ini bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti melakukan interaksi intens antar stakeholders dan sebagainya. Kota merupakan sumbu kreativitas yang auranya menjalar ke berbagai hal dan pihak. Kreativitas kota harus dijaga karena ia juga menjadi “api” yang menerangi jalan kebebasan para kreator untuk menciptakan sesuatu yang berfungsi secara sosial, budaya dan peradaban. Maka dari itu, upaya-upaya menjaga kreativitas warga kota sejatinya bukan hanya merupakan kewajiban tersier, melainkan harus diletakkan sebagai titah keummatan. Karena begitu titah ini dijalankan, akan ada banyak hal yang tumbuh tegas mempesona dan mencengangkan.

Oleh: Tantan Hermansah

(Ketua Program S2 Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta; Sekjen Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam P2MI)

Tinggalkan Balasan