Kota yang Gabut

Pandemi yang sudah memasuki hampir satu tahun telah menghasilkan realitas lain: Masyarakat Kota yang Gabut. 

Apa itu masyarakat gabut? 

Gabut yang sekarang mengalami trending belum menjadi bagian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sebelumnya memang ada istilah “gabut” yang merupakan kependekan dari “gaji buta”. Gabut dalam pengertian pertama merupakan interpretasi pada subyek yang tidak melakukan aktivitas produksi pada satu lembaga, namun dia mendapatkan keuntungan material. Maka muncullah istilah gaji buta, yakni mendapatkan sejumlah upah tanpa kerja. 

Akan tetapi, artikel ini tidak membahas gabut dalam arti yang pertama (gaji buta). Sebab jika dilihat dari kebiasaan frasa ini dipergunakan, “GABUT” mencerminkan satu keadaan yang dihadirkan atau melekat kepada seseorang yang mengalami kebingungan temporer, sehingga tidak memiliki semangat atau minimal niat melakukan sesuatu. Seseorang yang sedang “gabut” seperti ada pada situasi disorientasi sesaat. Mengapa “sesaat”? karena biasanya orang yang terkena “gabut” berlangsung tidak pernah lama. Mungkin jika dipergunakan ukuran alokasi waktu, berlangsung beberapa jam atau seharian saja.

Meletakkan warga masyarakat yang gabut cukup penting. Karena masyarakat disangga oleh individu, di mana setiap individu berelasi sehingga membentuk kelompok sosial. Jika pola relasinya berulang dan menguat, maka pola tersebut sudah menjadi sistem. Ketika sistem ini dipercayai dan memberikan keuntungan secara sosial dan budaya, lalu ada pihak-pihak yang merasa mendapatkan mandat untuk menjaga dan merawatnya. Maka sistem sosial itu pun semakin kuat karena biasanya disangga dan dilindungi oleh aturan.

Satu hal yang pasti, individu adalah bagian dari satu entitas yang besar, yakni masyarakat. Masyarakat membentuk peradaban. Salah satunya adalah peradaban kota. Keberlanjutan dan keberlangsungan suatu kota, akan bertumpu kepada kualitas dari individu yang ada di dalamnya. Sehingga dinamika yang terjadi pada subyek individu tersebut, akan memberikan pengaruh kepada ruang sosial-budaya kota secara keseluruhan.

Kota di masa pandemi seperti sekarang ini sangat rentan menghasilkan warga masyarakat yang didera oleh perasaan gabut. Bayangkan saja, aturan pembatasan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah, meski tentu saja tujuannya baik karena untuk memutuskan rantai penyebaran virus corona 19, tetap saja memiliki dampak sosiologis, psikologis, dan budaya.

Relasi Sosial sebagai Basis

Manusia terbiasa untuk menjadi bagian dari kehidupan sosial yang lebih besar. Sudah jamak bahwa setiap individu yang “melata” di atas muka bumi, merupakan bagian dari entitas sosial yang beragam. Di rumah, unit sosiologis terkecil, manusia adalah anggota keluarga. Di luar rumah, manusia adalah anggota dari beragam entitas yang menghimpun mereka karena berbagai identitas temporer seperti hobby (sesama penggemar bunga tulip, misalnya), kebiasaan (selalu telat pulang kantor, misalnya), pendapatan (sesama berpendapatan menengah, misalnya), atau ruang sosial-eksistensial lainnya.

Semua ruang berinteraksi dan ekspresi diri itu, sekarang harus dibatas secara radikal. Memang kalau sehari atau seminggu, masyarakat masih bisa bertahan. Adanya teknologi, media sosial, televisi, dan yang hal-hal lainnya, bisa sedikit mengalihkan. Namun jika kemudian harus melakukan itu berbulan-bulan, bahkan memasuki satu tahun, maka permasalahan kemanusiaan yang menjadi watak dasar manusia itu sendiri, akan terganggu. Dalam kondisi seperti inilah kemudian ke-gabut-an itu akan hadir menyapa manusia.

Selanjutnya dalam kondisi mengalami “tekanan” psikologis yang sama, apalagi manusia modern terhubung oleh teknologi yang ada dalam genggaman, maka narasi gabut dengan cepat menebar, menyebar, laksana virus itu sendiri. Awalnya dunia maya menjadi luapan segala keluh dan serapah. Pelaku merasa bahwa ruang maya memiliki kebebasan tanpa batas. Mereka mengapungkan segala yang dirasa, atau ingin dirasa, secara sporadis. Celakanya, algoritma teknologi media saat ini kemudian membaca narasi gabut tersebut dan kemudian pribadi-pribadi itu dipertatapkan secara virtual.

Kegabutan demi kegabutan saling bertaut satu sama lain. Lalu narasi gabut itu membentuk pola dan jaringan tersendiri. Bit narasi ini yang kemudian ditambang oleh para pemilik media untuk dijadikan sarana mereka menambah kekayaan. Pertemanan dalam ruang gabut, difasilitasi agar semakin eksis. Kemudian narasi ini secara psikologis berimbas kepada pribadi-pribadi yang mengatakan atau menuliskannya menjadi terasing dalam kesenangan yang semu, cepat, dan (jelas) tidak mengatasi masalah intinya.

Semakin lama suasan dalam kota  gabut memang akan terlihat “mendung” dan tidak produktif. Sebab, narasi yang muncul bukan semangat, tetapi khawatir dan pesimis, yang dijahit oleh pemilik media menjadi semacam “kesadaran”. Padahal itu hanya kesadaran yang dimanipulasi untuk mempertahankan aksesibilitas pelaku pada jaringan global mesin tambang kekayaan mereka. Sementara di sisi pelaku kegabutan semakin mengkristal dalam kehidupan sebagian masyarakat. Ditunjang oleh aksesibilitas pada data dan infrastruktur teknologi serta kewajiban belajar daring, maka ekspresi gabut itu semakin mendapatkan tempat dan seperti ada “pembenaran”.

Kembali pada Negara

Kegabutan di kota (dan juga di desa) adalah ancaman nyata yang bisa mengganggu kehidupan sosial masyarakat di kemudian hari. Ancaman yang dihasilkan bisa mirip dengan situasi pandemi yang (juga) sedang kita hadapi. Jika dalam sistem pembelajaran siswa kita diprediksi akan mengalami “The Leaning Lost Generation”, maka pada kota yang masyarakatnya gabut, mungkin kita akan mendapatkan satu realitas “kehilangan masyarakat optimis”.

Untuk itu kegabutan, meski bersifat temporer, tidak bisa dibiarkan terus eksis dan mendapatkan tempat dalam kehidupan masyarakat. Setiap elemen masyarakat mesti dijaga kesadarannya. Supaya bersama-sama kita bisa lulus melewati pandemi ini.

Oleh karena itu, hal-hal yang menghasilkan narasi kegabutan dalam masyarakat harus dikikis, atau setidaknya tidak dimunculkan—apalagi ditambang demi keuntungan sekelompok orang. Pemerintah dengan masyarakat harus bahu membahu menjaga rasa optimisme ini. Salah satu yang membuat masyarakat terjaga kesadaran optimisnya adalah memberikan keleluasaan terbatas kepada masyarakat untuk tetap melakan aktivitas sosial budaya seperti berwisata dan berkumpul meski dengan pembatasan yang ketat. Pelarangan total untuk berwisata atau mengadakan pertemuan sosial, bukan hanya mengancam kenyamanan sosial dan ekonomi. Pelarangan seperti itu justru akan menurunkan imunitas subyek sendiri, dan memperkuat kegabutan. Negara adalah institusi yang cukup instrumen untuk melakukan hal ini. Dengan segala instrumen yang dimilikinya ini, maka dinamika relasional antar manusia itu bisa dijaga dengan tidak mengabaikan protokol kesehatan. Jika hal ini bisa dilaksanakan, maka dengan sendirinya masyarakat akan menemukan kesadaran sosial dengan imunitas yang bagus dan terjaga; dan gabut pun perlahan tapi pasti akan sirna.

Oleh: Tantan Hermansah

(Ketua Program S2 Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta; Sekjen Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam P2MI)

Tinggalkan Balasan