Minggu-minggu ini publik dibuat heboh dengan baliho. Bisa dikatakan bahwa baliho ini menyerap energi sosial yang cukup banyak. Beragam narasi berseliweran pada berbagai platform media. Makna-makna berhamburan dan dikontestasikan memberikan penjelasan.
Lalu, bagaimana publik memaknai baliho dan mengapa bisa membuat resonansi yang cukup besar dan menyita perhatian?
Baliho bisa memberikan makna yang berbeda-beda bagi setiap orang. Apalagi secara teknis saat ini, proses teknis membuat baliho sangat mudah. Percetakan ada di mana-mana. Desainer baliho dan bahan baku pun tersedia cukup banyak. Untuk kontennya sendiri pun cukup banyak tersedia di dunia maya.
Maka dari aspek produksi, membuat baliho bisa dikatakan cukup mudah dilakukan oleh siapapun. Tinggal pesan yang ingin disampaikan di baliho itu apa, semua berpulang kepada subyek yang memproduksinya.
Baliho adalah wujud produksi simbolik, serta merupakan upaya reproduksi pikiran yang ditransformasikan dalam sebuah media. Setiap orang memang bisa memosisikan penafsirannya berbeda-beda, tetap saja intinya adalah mengkomunikasikan sesuatu.
Spanduk atau baliho merupakan bagian dari sistem budaya advertising. Jangan dikira ketika sebuah baliho berdiri, kita hanya melihat gambar. Ada jutaan makna yang ingin disampaikan dalam advertising tersebut.
Advertising adalah metode lain dalam memberikan pencerahan (enlightening) masyarakat. Melalui papan reklame tersebut, sebuah pesan dari suatu produk disampaikan berulang-ulang kepada massa. Semakin lama sebuah reklame bertahan, maka makna yang dihasilkannya pun lebih dalam.
Respon atas sebuah papan reklame dari publik, bisa dibaca secara semiotik. Ilmu yang membicarakan tentang makna pada suatu tanda ini, bisa memberikan kita pencerahan mengapa sebuah baliho begitu bermakna bagi seseorang atau sekelompok orang.
Ada tiga makna yang bisa dipergunakan untuk membaca suatu simbol, yakni: Denotatif, Konotatif, dan Mitos. Teori ini dikonstruksi oleh Roland Barthes (1915-1980), di mana jika dikaitkan dengan eksistensi baliho bisa diinterprestasikan sebagai berikut:
Pertama, makna denotatif atau apa adanya sesuai common sense. Maka secara denotatif baliho berisi pesan akan kehadiran sesuatu, sesuai kontennya. Jika sebuah produk kecantikan, maka makna denotatif dari baliho berakhir pada eksistensinya. Karena pada aras denotasi, sesuai kesepakatan umum, baliho ditunjukan untuk menjelaskan hal-hal yang sifatnya ontologis-eksistensial semata. Jadi, jika ada yang memasang baliho di sebuah sudut strategis, misalnya, hal ini dilakukan karena secara nalar publik, tempat itu mudah dilihat orang banyak. Sehingga mereka yang melihatnya mendapatkan informasi kehadiran dari konten yang ditaruh pada baliho tersebut.
Kedua, makna konotatif yang dikaitkan atau diasosiasikan dengan sesuatu. Maka pada aras konotatif, baliho bermakna lebih dalam. Ia menjadi suatu penanda yang melampaui batas eksistensi. Sehingga bukti bahwa baliho sebagai perlambang kebersamaan dan kesatuan. Baliho yang memiliki makna konotatif biasanya memiliki konten yang spesifik, merujuk kepada nilai-nilai tertentu, dan ada pesan yang ingin “dikalungkan” kepada subyek yang dimaksud. Misalnya, ketika seseorang memasang foto diri pada masa kampanye, secara konotatif, sang subyek dalam baliho memberikan pesan kepada publik agar bisa diperhatikan. Ia memberikan atensi pada sistem informasi yang didapatkan oleh masyarakat. Sebab ketika atensi itu bisa didapatkannya, maka hati yang melihat (pemilih) bisa merasa terangkut dalam “gerbongnya”.
Ketiga, makna mitos yang juga berarti tanda (sign) itu merepresentasikan sesuatu. Ia dianggap tidak tunggal; tidak hadir dari entah berantah. Sehingga suatu makna bisa diposisikan sebagai sesuatu yang bisa jadi bukan hari ini, juga bukan masa depan. Tetapi sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu. Dengan masa lalu tersebut, manusia hari ini mendapatkan keuntungan, keberkahan, dan sejumlah kehidupan. Bisa juga apa yang terjadi pada masa lalu dan dikaitkan dengan apa yang tampil pada sebuah baliho itu, pun memiliki dampak negatif pada masyarakat. Contoh iklan-iklan rokok banyak yang menggunakan penanda yang sifatnya mitos. Misalnya, merokok merk A, akan serasa menjadi pribadi yang jantan, gagah dan kuat. Serta makna lain yang dihasilkan oleh produsen makna.
*
Melihat pertempuran narasi pasca sejumlah baliho diturunkan maka kita bisa memahami mengapa sejumlah orang merasa terganggu. Apalagi beberapa kasus, proses penurunan baliho dibarengi dengan “unjuk kekuatan”. Tentu saja, alih-alih proses tersebut akan menuai simpati dari yang “diganggu” karena balihonya diturunkan, maka yang terjadi bisa sebaliknya. Sehingga baliho mengalami transformasi makna, dari sekedar pajangan untuk menghormati seseorang, menjadi ekspresi perlawanan atas perilaku rejim yang berlebihan.
Tentu saja perang narasi itu sangat menyehatkan. Di mana masing-masing pihak bisa membangun narasinya masing-masing sesuai kepentingannya. Kemudian narasi tersebut dikonstruksi sebagai wacana yang disertakan pada simbol atau petanda tersebut. Jadi pada aras mitos, rebellion atas pencopotan baliho bukan masalah kertas/ kain yang menjadi spanduk tersebut. Sebab melampaui itu, mereka terpancing untuk mentransformasikan semangat gerakan rebellion tersebut pada kalangan yang ingin mereka lawan.
Oleh karena itu, dalam konteks memperkuat harmoni sosial yang akhir-akhir ini seperti sedang tercabik, para pihak tidak perlu saling unjuk kegagahan. Saling unjuk kegagahan dilakukan jika saja proses unjuk narasi dalam suasana yang cair dan terbuka tidak bisa terjadi. Sebab melalui dialog intersubyektif, kita bisa mencari dan menemukan irisan kesamaan. Kemudian berangkat dari kesamaan itulah maka kita bisa sama-sama menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa.
Oleh: Tantan Hermansah(Ketua Program S2 Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta; Sekjen Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam P2MI)