Ekologi Peradaban Kota

Ketika manusia dihadapkan pada tantangan ekologi maka artinya manusia sedang bergulat pada perjuangan yang sifatnya etis. Hal tersebut bisa dipahami oleh dua dimensi besar dalam kehidupan yaitu dimensi boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.

Contohnya yaitu apakah menebangi pohon itu boleh dilakukan? Maka jawaban dalam konteks ekologi manusia tidak boleh serta merta menjawab tidak boleh dilakukan atau boleh dilakukan, dan kemudian ada dalam kerangka salah dan benar. Hal tersebut karena bisa jadi dengan menebang pohon di hutan itu berujung pada satu tindakan yang cukup benar baik secara sosial, ekonomi, lingkungan, dan bahkan secara agama, tetapi, bisa juga hal tersebut menjadi tidak benar dan banyak melanggar banyak hukum seperti hukum sosial, budaya, dan bahkan hukum agama. Maka apa yang dapat membedakan bahwa tindakan tersebut bisa dikategorikan benar atau tidak maka di situlah kita membutuhkan sesuatu yang disebut sebagai konteks. Konteks adalah situasi dan kondisi ketika tindakan itu dipilih untuk dilakukan, contohnya yaitu tiba-tiba kita dihadapi oleh pilihan apakah pencuri ini harus dipukul atau tidak maka jawabannya jika pencuri itu belum tertangkap maka boleh dipukul tetapi jika dia sudah ditangkap oleh polisi maka itu kategorinya menjadi dilarang untuk dipukul. Maka, hal yang membedakan kedua tindakan itu adalah konteks.

Begitu juga dengan persoalan lingkungan dimensi etis itulah yang kemudian memberikan kepada kita pemahaman bahwa konteks menjadi penting bagi kita. Jadi, ketika kamu nanti berjuang dimasyarakat untuk memberikan pencerahan mengenai ekologi maka ingat bahwa konteks itu memungkinkan kamu untuk melakukan tindakan yang berbeda dan tidak biasa. Tindakan yang terkadang terlihat aneh seperti kasus menebang hutan, bisa jadi penebangan diperbolehkan karena untuk memenuhi kebutuhan manusia secukupnya seperti keperluan kayu bakar dan sebagainya, faktor lainnya karena hutannya sudah terlalu padat sehingga dengan metode tebang pilih maka dapat membuat hutan menjadi lebih aman dan jarang pepohonannya. Tetapi juga dapat memberikan kehidupan bagi biota lain supaya dapat menghirup udara dan matahari. Karena, hutan yang terlalu padat menjadikan unsur haranya jadi tidak terlalu bagus dengan sebab tidak kena matahari, semak belukar pun tidak dapat tumbuh di bawah dan mati padahal semak belukar dapat memberi kehidupan bagi hewan-hewan kecil.

Persoalan kota jika dilihat dari aspek keberadaban, bisa dilihat pada ruang proses yang terjadi pada tubuh kota itu sendiri. Di mana setiap tahapannya akan meperlihatkan unsur-unsur etis yang kuat. Untuk memahami bagaimana dimensi etis itu hadir dalam kehidupan masyarakat modern, seorang filsuf dan pemikir dari Belanda, C.A. Van Peursen menulis buku yang terjemahannya berjudul “Strategi Kebudayaan” berisikan “bahwa setidaknya manusia modern telah melampau tiga tahapan kebudayaan, yaitu tahapan mitis, tahapan ontologis dan tahapan fungsional.Tahapan mitis adalah masa di mana manusia ketika zaman itu masih terkepung pada isu yang berkaitan dengan sesuatu yang supranatural. Pada zaman itu banyak hal yang tidak mungkin dilakukan karena ketidakmampuannya itu kemudian dilegitimasi oleh sistem etika konvensional tradisional dengan melibatkan sesuatu yang maha, besar, tidak mungkin dan tidak perlu diperdebatkan pada waktu itu tetapi ada faktanya.

Contohnya terdapat batu besar yang tidak dapat di pindahkan dan sebagainya maka jawabannya misalnya adalah Sang Maha yang menciptakannya menghendaki bahwa batu ini besar dan karena kekuatan di dalamnya maka manusia tidak dapat melakukan apa pun pada batu itu. Contoh lainnya yaitu luasnya lautan maka disebabkan oleh Sang Penciptalah yang menginginkannya seperti itu dan meletakkan kekuatan di dalam laut itu. Dimensi mitis pada saat itu sebetulnya memberikan dimensi etis yang berbasis pada sesuatu yang sifatnya supranatural. Diperlukan jawaban yang sifatnya supranatural karena pada praktiknya manusia tidak bisa dipisahkan dari kemampuan untuk kritis yaitu kemampuan untuk selalu mempertanyakan apa-apa yang terjadi di lingkungannya. Kemampuan itu terinstal sangat baik di dalam pikiran manusia sehingga pertanyaan-pertanyaan itu kemudian akan hadir dan mewarnai setiap fase kebudayaan. Maka dimensi etis menjadi penting karena dapat membatasi manusia untuk tidak berlebihan tetapi tetap tidak mati.Pada tahap mitis logika yang terbangun pada masyarakat sudah ada dan hadir, tetapi kita tidak bisa membuat struktur logika dan ilmu pengetahuan pada zaman itu sebagaimana pada masyarakat modern.Kota pada tahap ini seperti titah Tuhan untuk mengumpulkan manusia dalam satu ruang yang kemudian berinteraksi dan menghasilkan kehidupan. Pada masa ini, kota “dikuasai” oleh setidaknya tiga pihak: pemerintah, pengusaha, dan tokoh agama. Ketiga pihak ini kadang berkolaborasi untuk membangun kota, kadang berkontestasi untuk saling berbagi atau berburu pengaruh masyarakat. Sementara masyarakat pun memberikan tensi yang berbeda kepada ketiga pihak tersebut. Kedua adalah tahapan ontologis yaitu sebagian manusia sudah mulai membebaskan diri dari berbagai keadaan mitis dan kemudian ingin mencari jawaban dari pertanyaan tersebut sehingga mulai tumbulah ilmu pengetahuan dan kecenderungan jawaban-jawaban, serta mulai tumbuhlah sistem yang kemudian akhirnya memberikan kepada masyarakat secara umum untuk mengetahui lebih jauh atas jawabannya.

Secara sederhana tahapan ontologis ini yaitu manusia mulai membebaskan diri dari jawaban-jawaban yang menurut mereka tidak masuk akal. Tetapi, dengan keterbatasan ilmu pengetahuan mereka akhirnya belum mampu menjawab seluruh pertanyaan itu. Sehingga akhirnya terdapat misteri yang terkuak jawabannya tetapi masih ada yang belum bisa terjawab. Saat itu nalar kritis dan budaya manusia mulai tumbuh secara manusia dan kemudian manusia mulai berpikir lebih jernih dan alat penunjang ilmu pengetahuan mulai dibuat serta kemudian ilmu pengetahuan baru mulai tumbuh. Contoh yang paling mudah adalah mulai berlakunya pembelahan, misalnya tidak semua laut bisa diakses, hanya sebagian hutan bisa dijelajahi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jadi pada tahap ontologi manusia mulai berpikir lebih luas untuk melakukan ekstensifikasi pemikiran dan tindakan tetapi tetap menjadi sebagiannya (tetap misterius) karena mereka mulai terbiasa berpikir juga bahwa walaupun akses sumber daya itu bisa dilakukan tetapi dalam praktiknya tetap perlu dilakukan pembatasan untuk menjaga keseimbangan.Kota pada tahap ini mulai bertabur cikal bakal pusat-pusat ilmu pengetahuan mulai dari sekolah sampai perguruan tinggi. Pada fase ini pula mulai muncul bahwa orang-orang berilmu pengetahuan mendapatkan ruang dan penghargaan. Mereka, karena kekuatan dan kekuasaan ilmunya, ditempatkan pada posisi yang cukup terhormat. Masyarakat pun berbondong-bondong mengakses ruang-ruang ilmu pengetahuan tersebut. Sebab akses atas lembaga pendidikan itu punya potensi akan memberikan keuntungan bagi mereka di masa mendatang.

Tahap terakhir yaitu tahap fungsional yang bisa dikatakan sebagai ciri manusia modern saat ini. Di mana segala hal bisa dilihat dari aspek fungsinya bahan dalam hal-hal mistis sekalipun. Hal tersebut bisa kita lihat di layar televisi seperti aksinya Roy Kiyoshi, maka apa yang dilakukannya bukan semata-mata kembali pada hal mistis tetapi kemudian diberikan suatu pemaknaan sehingga dapat memberikan informasi kepada penonton bahwa hal mistis memiliki fungsi sosiologis, dan sosial budaya yang kuat pada manusia modern. Pada tahap fungsional kemudian terciptalah relasi-relasi baru antara manusia dan lingkungannya yang kemudian dapat membawa manusia modern sebagaimana yang dikatakan pendekatan Capra sebagai sesuatu yang akan berkontribusi pada kehancurannya juga. Ekstensifikasi relasional yang tercipta itu pada akhirnya kemudian menghasilkan manusia-manusia baru dan pemikiran baru yang dalam beberapa hal menjadi tidak terkendali. Pada masa mitis ruang lingkup manusia masih sangat terbatas, pada tahap ontologis mulai meluas tetapi masih tetap terbatasi, dan pada tahap fungsional maka manusia sudah bisa berelasi dengan banyak pihak dengan sangat tak terbatas. Ketika sudah seperti itu, kemudian orang sudah bisa memilih dengan siapa dia bergaul dan sebagainya yang akhirnya menghasilkan berbagai hal yang sifatnya bisa jadi destruktif pada persoalan sosial dan ekologi. Para pengusaha hutan yang melakukan eksploitasi hutan itu mereka juga bergaul pada sesama eksploitator dan kemudian mereka akhirnya sama-sama melakukan itu, mereka tidak bergaul dengan aktivis-aktivis lingkungan dan pada saat itulah relasi-relasi tersebut tercipta. Pada tahap fungsional inilah, kota-kota mulai melakukan proses sekulerisasi diri. Ketika proses sekularasi dan fungsional ini terjadi, maka segala hal yang terkait dengan institusi kota dianalisis dan dipetakan fungsi-fungsinya bagi kehidupan. Sebab jika tidak maka akan berpotensi menghasilkan chaos.

Telah terbit: https://kumparan.com/kerja-bareng/ekologi-peradaban-kota-1tfQL1lBk5U/full

Tinggalkan Balasan