Banjir di Kota: Meluruh dan Menguatnya Komunitas

Sistem tata kewargaan di kita memang unik. Anomalitas terjadi sedemikian rupa. Komponen sosiologis dan non-sosiologi yang berbeda sangat signifikan, bisa diaduk dan menghasilkan “sesuatu”. Perekatnya juga bisa bermacam-macam. Tergantung sang peraciknya.

Sebagai contoh dalam peristiwa banjir belum lama ini. Di mana sebagai peristiwa, komponennya banyak: sejarah lokal, tren data, pemerintah, aturan, korban terdampak, dan sebagainya. Di Indonesia, khususnya belakangan ini, ada komponen tambahan yakni New Media dan buzzer. Di sinilah anomalitas yang disinggung di atas bisa kita baca.

Bacaan atas peristiwa secara sosiologis tentu berbeda dengan perspektif lain. Dalam konteks sosiologis ini, maka banjir bisa kita baca sebagai salah satu fenomena solidaritas. Di mana, teori ini merupakan salah satu yang tertua dalam Ilmu Sosiologi.

Apa hubungan dan fungsi banjir dalam konteks penguatan dan peluruhan solidaritas?

Di luar pembahasan mengenai sebab musababnya, maka banjir bisa dipahami sebagai instrument yang cukup strategis untuk melihat bagaimana nilai-nilai komunitas masih hidup dan bekerja dalam sistem sosial masyarakat. Dan, seperti bisa kita lihat pada berbagai platform media, banjir telah menghasilkan pemaknaan yang begitu melimpah. Namun jika disederhanakan, hasilnya mengerucut kepada dua kutub: meluruh dan menguat.

Pada fakta yang meluruh, kita melihat bagaimana mereka yang terdampak justru telah diubah posisinya dari subyek ke obyek. Bahkan perubahan ini juga tidak jarang merupakan ekspresi yang divisualisasikan oleh mereka sendiri.

Contoh nyata, begitu banjir terjadi dan menimbulkan masalah di lingkungannya, beberapa pihak kemudian langsung mencari kambing hitam. Dan figur paling gampang adalah pemerintah setempat. Melewati berbagai media, mereka menengadahkan tangan memohon bantuan, sambil mulutnya memproduksi caci dan maki. Berdalih lapar dan kekurangan, mereka berebut bantuan.

Pada fakta yang menguat, justru banyak di tempat-tempat lain, terutama yang tidak terkena musibah, justru aktif menggalang bantuan. Tidak segan atau malu, sebagain dari mereka rela berpanas-panas di pinggir jalan sambil membawa kardus kosong dengan tulisan “peduli bencana” dan kata-kata lain yang menyentuh para dermawan.

Jika kita tarik benang merah antar peristiwa, sebenarnya ada irisan yang kuat, yang bisa menjadi jembatan keduanya: empati. Empati merupakan salah satu unsur yang merekatkan anggota komunitas. Dengan empati, persoalan teknis-kebirokrasian bisa diperkecil jurangnya. Sehingga kedua pihak bisa bertemu dan saling berbagi.

Hanya saja, kadang ada yang terlewat dalam bridging tersebut: pemberdayaan. Mengapa dalam situasi yang bisa dikatakan “genting” harus tetap melakukan pemberdayaan. Bukankah banyak subyek yang harus segera ditangani, ketimbang merangkai pikiran-pikiran rumit yang menjadi unsur dari pemberdayaan.

Justru karena dalam penanganan bencana ada peluang besar untuk melakukan pemberdayaan, maka pikiran-pikiran untuk tetap teguh di jalur memperkuat dan memberdayakan jangan sampai menguap bersama bencana.

Sebaliknya, ketika proses memberikan bantuan misalnya, masyarakat penerima diingatkan kembali pentingnya menjaga lingkungan, alam sekitar, dan menjaga komunitas. Sebab bantuan dari luar itu sifatnya temporer. Bisa jadi, suatu saat ketika ada musibah lagi, beberapa titik tidak terkena bantuan secara optimal, atau malah tidak ada sama sekali.

Jika sudah dalam posisi seperti ini, maka kembali kepada komunitas menjadi sangat penting. Sebab komunitas landasannya adalah nilai-nilai kebersamaan, empati, dan inklusif. Jika nilai ini sudah dirawat dan menguat, maka peluruhan akan kepercayaan kepada sistem akan berkurang. Bahkan kebersamaan yang mendasari nilai-nilai komunitas itu justru akan menopang kebersamaan dalam melewati bencana.

Oleh: Tantan Hermansah (Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) (Ketua Program S2 KPI; Sekjen P2MI)

Telah terbit di Harian Rakyat Merdeka, Senin (20/01/2020)

Tinggalkan Balasan