Semiotika “Hijrah” Pada Masyarakat Perkotaan

Seperti sudah menjadi hukum alamnya, jika masyarakat kota adalah leader bagi kehidupan entitas lainnya. Sistem masyarakat kota seperti sudah didesain untuk menciptakan, menghasilkan, dan kemudian mengembangkan pengikut atau followersnya. Para “pengikut” inilah yang kemudian saling berbagi manfaat dan keuntungan.
Energi kota yang melimpah kadang membutuhkan ruang dan wahana baru untuk menuangkannya. Energi ini seperti tumbuh terus dan memerlukan pemampung baru; bahkan tidak jarang, penampungan baru ini kemudian menjadi tren dan menghasilkan identitas baru dengan segala keunikannya. Salah satu keunikan yang dipopulerkan di kota saat ini adalah hadirnya fenomena yang disebutka sebagai “ Hijrah ”.
Fenomena hijrah masyarakat perkotaan bisa dilihat dari semaraknya pengajian atau kajian-kajian keagamaan, terutama dilakukan oleh orang muda, dengan kemasan-kemasan yang lebih gaul, kekinian, dan trendi. Mereka juga memvisualisasikan tampilan baru seperti menggunakan hijab yang lebar (istilahnya hijab syar’i) dan bahkan beberapa bercadar (niqab). Untuk membungkusnya, mereka menggunakan istilah “hijrah” untuk membedakan mereka yang sudah beragama (Islam) tetapi belum secara syar’i dan kaffah .
Artikel ini mencoba memahami fenomena hijrah pada kalangan masyarakat kota dengan pendekatan semiotika. Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Di mana, segala fenomena dipahami dan diposisikan sebagai tanda yang diungkapkan oleh subyek kepada yang lain. Dalam konteks semiotika, realitas yang diposisikan sebagai tanda itu dimaknai sebagai entitas yang tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan dengan sejumlah pokok lain, yakni pengetahuan yang melekat pada subyek pembangun tanda, serta konteks sosial budaya di mana tanda-tanda itu lahir dan diberi makna.
Tidak terkecuali fenomena “hijrah” yang merebak pada masyarakat kota ini, bisa dibaca dalam tiga dimensi, yakni: hijrah sebagai teks, hijrah sebagai refleksi ilmu pengetahuan, dan hijrah sebagai konteks sosial budaya lokal.
Sebagai teks, fenomena hijrah memiliki sub-dimensi Bahasa Agama yang digali dari narasi sejarah Islam. Di mana para pembacanya mengangkat satu fase sosial-politik di era Rasulullah yang kemudian dituangkan dalam gerakan dan makna lain. Para subyek pembaca teks ini mentransformasi makna teks hijrah dari pindah fisik menjadi “pindah budaya” yang dalam hal ini divisualisasikan dalam penampilan, tutur kata, bahkan kelompok-kelompok tempat mereka berkumpul. Hijrah dalam makna baru ini diwujudkan sebagai bentuk perlawanan atas narasi besar yang dianggapnya sebagai nilai-nilai jahiliyah.
Sebagai kognisi, fenomena hijrah ini jelas merupakan proses belajar dari subyek ketika mereka mendalami fase-fase kehidupan di jaman Rasul yang dianggap masih relevan atau dibuat relevan. Mengangkat istilah hijrah ini dalam kehidupan kekinian, jelas merupakan hasil dari suatu ilmu pengetahuan yang tidak saja bisa dikatakan “jenius”, tetapi juga bersesuaian dengan fenomena kehausan ilmu pengetahuan Islam pada masyarakat kota saat ini.
Sedangkan sebagai konteks, fenomena tren hijrah pun jelas hadir karena bertepatan kebutuhan masyarakat kota saat ini. Apa yang diterjadi dan tervisualisasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kota ini membutuhkan bacaan baru, meski dengan alat-alat lama yang sudah tersedia. Selain itu, fenomena kekeringan spiritual yang selama ini terjadi pada sebagian masyarakat kota demikian mencemaskan banyak kalangan—terutama keluarga perkotaan. Di sinilah kemudian mereka mencari-cari mutiara ilmu pengetahuan yang bisa dihidupkan atau dihadirkan kembali untuk menawar dahaga tersebut. Di sinilah istilah hijrah kemudian menemukan makna dan kekuatannya.
Tentu saja, fenomena hijrah ini sebagai istilah dan tren sangat mungkin terjadi sesaat. Sebab, meski frasa ini digali dari sejarah Rasul, prosesnya tidak sublimatif. Proses tren “hijrah” dikemas agar mendapatkan semangat dan memenuhi kebutuhan konteks sosial-budaya dan ilmu pengetahuan. Pengemasan inilah yang kemudian dianggap seperti mendapatkan tempat dan kebutuhan kaum muda perkotaan saat ini.
Sementara itu sebagai fenomena histioris, apa yang terjadi akan terus belanjut dengan cara memproduksi istilah baru sesuai dengan kebutuhan dan konteks sosialnya. Bisa jadi, ke depan, ketika istilah “hijrah” sudah meredup, maka para kreator ini akan memproduksi istilah baru lagi.

Oleh: Tantan Hermansah
(Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
(Ketua Program S2 KPI; Sekjen P2MI)

Tinggalkan Balasan