Tantangan Inklusi Kota

Kota hari ini harus dilihat dengan cara pandang yang tidak sekedar lawan dari “Desa”. Pandangan diametratif tersebut selain menghilangkan relasi dasariah antara Kota dengan Desa, tetapi juga memosisikan realitas kontestatif yang hegemonik, di mana salah satu pihak berkuang untuk mengalahkan yang lainnya.
Meski corak ideologis tidak bisa dihilangkan ketika membicarakan masing-masing entitas, tetapi pada kenyataannya, dinamika relasional antara keduanya jauh lebih mendalam dan kuat ketimbang bobot ideologis tadi.
Berangkat dari kesadaran epistemis bahwa kota-desa secara hakikat merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, tulisan singkat ini justru ingin mengajak kita semua kepada tantangan yang seperti tidak berkesudahan bagi kota: inklusi.

Dari Ekslusi ke Inklusi
Seperti sudah jadi common sense bahwa kota dianggap segalanya. Kehidupan keseharian, tata sosial, bahkan tujuan hidup hampir sebagian besar orang ditambatkan di kota. Maka menjadi wajar jika diperkirakan pada tahun 2045, lebih dari 70 persen penduduk dunia akan hidup dan tinggal di perkotaan. Indonesia bahkan lebih besar lagi, di mana 82,37% penduduk akan hidup di kota (Bappenas, 2015).
Di sinilah kita bisa memprediksi bahwa ada ancaman nyata bagi seluruh perkotaan di Indonesia (dan mungkin juga dunia). Ancaman tersebut antara lain daya dukung, energi, dan sistem sosial.
Daya dukung kota minimal terdiri dari dua aspek: ekologi dan sumberdaya manusia. Dalam ruang lingkup ekologi, daya dukungnya mulai dari luasan ruang fisik yang bisa ditempati dan bisa dijadikan ruang gerak dan relasi sosial manusia. Sebab semakin banyak orang yang tinggal di kota, secara otomatis kebutuhan ruang fisik, udara bersih, fasilitas bergerak, dan sebagainya akan semakin tinggi.
Sementara itu, daya dukung lingkungan fisik tidak selalu berkorelasi dengan jumlah pertumbuhan manusia di kota. Kecepatan pembangunan infrastruktur selalu tidak berbanding lurus dengan kebutuhan lapangan. Akibatnya, daya dukung fisik ini menjadi terbatas. Keterbatasan inilah yang kemudian dinikmati oleh entitas privat (swasta) untuk melakukan komersialisasi ruang.
Komodifikasi ruang dari bebas menjadi berbayar menjadi semakin menambah masalah kota. Mereka yang tidak berkemampuan lebih akibatnya hanya menjadi penonton atau berdesak-desak pada ruang yang terbatas. Kesalingberdesakan inilah yang kemudian mudah sekali dipermainkan oleh pihak-pihak yang enggan bertanggungjawab.
Masalah berikutnya adalah energi. Keindahan kota berkonsekwensi kepada kebutuhan akan energi. Sementara itu, mekanisme produksi energi pun dikuasai secara terbatas. Di Indonesia, bahkan energi masih diproduksi secara monopolistic oleh instansi negara (BUMN). Dengan kapasitas yang sangat terbatas, monopoli ini jelas merupakan ancaman berikutnya yang akan mengganggu kota di masa mendatang.
Sistem produksi energi yang lebih partisipatif sebetulnya bisa dan mampu dilakukan oleh pihak non-pemerintah (BUMN). Namun ketidaaan insentif yang pantas, menyebabkan banyak pihak lebih mengandalkan pemerintah yang menjadi suplayer satu-satunya energi ini.
Masalah ketiga yang patut menjadi perhatian kota adalah sistem sosial. Tentu saja, sistem sosial yang menampung kurang dari 50% (lima puluh persen) penduduk akan sangat berbeda dengan sistem sosial yang tersisi dengan 82%. Di sinilah kemudian, kota-kota yang memiliki resiliensi sistem (lihat, Hermansah, 2014) berpeluang untuk mengelola kota lebih berkelanjutan ketimbang kota yang tidak resiliensi.

Dasar Kota Inklusi
Term kota inklusi sejatinya menjadi benchmark seluruh kota di Indonesia. Dalam praktiknya, sebenarnya kota-kota tersebut sudah inklusif. Namun kemudian, elit-elit masyarakat kadang menihilkan realitas ini karena kepentingan politik jangka pendek. Terlebih lagi seperti tahun ini yang disebut sebagai “tahun politik”. Isu-isu yang sifatnya esklusif jauh lebih banyak menarik ketimbang isu-isu inklusif.
Visi inklusif kota biasanya menghasilkan resiliensi sistem. Pada sistem yang resiliensi ini, maka keberlanjutan kota lebih terjamin, karena di dalamnya akan memberikan ruang gerak lebih leluasa ke berbagai pihak, untuk sama-sama memikirkan masa depan kota dan masyarakatnya.
Berbagai kota modern di dunia sebenarnya sudah lama menerapkan prinsip-prinsip inklusifnya. Sebagai contoh, kota Rotterdam di Belanda atau Kota London di Inggeris. Kedua kota tersebut dipimpin bukan oleh “warga pribumi”, tetapi oleh imigran atau turunan imigran.
Untuk membangun kota inklusif, Asia Development Bank (ADB) memberikan beberapa kerangka kerjanya, yaitu: aksesibilitas, keterjangkauan, resiliensi, dan keberlanjutan (ADB: 2017). Aksesibilitas merupakan peluang untuk mengakses sejumlah kebutuhan dasar, seperti rumah, dan pelayanan dasar lain; keterjangkauan merupakan jarak institusi publik dari lokasi atau tempat tinggal masyarakat; resiliensi adalah modus investasi kota yang terintegrasi dengan kebutuhan lain masyarakat; sedangkan sustainabilitas merupakan kemampuan responsive bagi siapapun untuk mengoperasikan atau mendapatkan pelayanan dari dan kepada siapapun.
Keempat pilar tersebut kemudian harus dilekatkan kepada rencana strategis kota, dengan bobot yang bisa diukur dan dipahami oleh semua pihak. Dengan modus seperti ini, maka kebijakan sampai rencana aksi harus merupakan representasi dari semangat inklusif ini. Selanjutnya, kota inklusif menjadi semacam kesadaran organic yang hidup dalam keseharian warga kota dan aparatnya. Sebab jika tidak, maka agenda Kota Inklusif justru bisa kontraproduktif dan menjadi Kota Esklusif.

Telah terbit di Koran Sindo Edisi 02-08-2018

Oleh: Tantan Hermansah

(Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

(Ketua Program S2 KPI; Sekjen P2MI)

Tinggalkan Balasan