Kota-kota di manapun umumnya memiliki karakter yang mirip: kompleksitas. Kompleksitas kota bisa dilihat dari beragam sudut: demografis, sosiologis, antropologis, historis, maupun bio-sosial dan pendekatan lainnya. Konsekwensinya, memahami kota tidak bisa menggunakan satu pendekatan. Dengan kata lain, bahkan untuk memahami saja, tidak ada formula antibiotic ampuh untuk kota.
Menghadapi kompleksitas kota, bukan berarti juga kota-kota tidak bisa dianalisis. Tentu saja meski tidak sempurna dan ampuh, kota tetap bisa didekati dengan perspektif dan disiplin masing-masing. Ketidaktunggalan dalam memahami dan mendalami kota, tidak serta merta kita harus membeku dan membiarkan begitu saja.
Artikel ini mencoba memahami kota dari salah satu sudut pandang, yakni perspektif sosiologis. Harus dikatakan dari awal bahwa, perspektif ini tentu memiliki kelemahan—di samping kekuatannya. Perspektif sosiologis ini pun, agar semakin tajam dan kuat, harus didialogkan dan dikolaborasikan terus menerus dengan disiplin lainnya.
***
Perspektif pertama dalam memahami masyarakat kota adalah pendekatan strukturalisme. Pendekatan yang disandarkan pada teori E. Durkheim (1858-1917) ini memetakan masyarakat kota sebagai entitas sosiologis yang berlapis-lapis, dan berkelompok-kelompok. Dalam setiap lapisan tentu ada posisi-posisi tertentu yang lebih tinggi (yang berkuasa) dan lebih rendah. Dalam konteks Durkheimian, adanya struktur tersebut karena kebutuhan alamiah manusia yang memang harus ada kelompok yang memerintah dan diperintah.
Konsekwensinya adalah untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan masyarakat tersebut, perlu ada aturan-aturan yang mengatur pola relasi antar anggota kelompok tersebut, baik secara internal maupun eksternal. Model relasi yang kemudian mengkristal inilah yang kelak menjadi rujukan tatanan masyarakat.
***
Kota-kota di Indonesia, jika menggunakan perspektif ini, harus dilihat sebagai kelompok-kelompok besar yang diisi oleh sub-kelompok yang lebih kecl. Dinamika relasi antar kelompok akan menentukan arah dan masa depan dari masyarakat Indonesia. Keadilan, transparansi, dan kesejahteraan, terbukti telah menjadi perekat kuat yang kemudian memelihara masyarakat kota sehingga tetap layak dilanjutkan.
Kelompok-kelompok besar itu bisa partai politik, ormas, atau kelompok lainnya. Dialog dan kolaborasi kritis antar kelompok tersebut akan semakin mengokohkan keIndonesiaan ini dalam konteks memasyarakat. Bahwa kemudian ada kelompok kecil yang kemudian mendinamisasi wacana, tentu harus dilihat sebagai proses positif yang akan mendewasakan bangsa ini. Ingat, bangsa yang (akan) besar bukan bangsa yang tidak pernah diuji, tetapi sebaliknya, justru bangsa yang tahan ujian. Setiap satu ujian, akan membawakan bangsa ini pada satu lompatan yang cukup jauh untuk mengejar beragam ketertinggalan. [cag]
Tantan Hermansah (Mengajar Mata Kuiah Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta) [terbit di Rakyat Merdeka]