Tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban bergerak dari dan ke kota. Kota bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga menegakkan peradaban dan tentu menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Meski dengan kegarangannya kadang kota bersikap tidak adil pada saudaranya, desa, tetapi tetap saja kita tidak bisa beralih dari sang kota.
Kota menjadi tujuan dan seperti tempat akhir manusia karena memiliki nilai-nilai. Nilai-nilai inilah yang disadari dan tidak, menjadi perekat dan pengikat, serta penyangga keberlajutan kota. Secara sederhana, nilai-nilai kota itu tercermin pada: modernitas dan rasionalitas.
Modernitas
Nilai-nilai modernitas kota divisualisasikan oleh cara hidup dan sikap warganya. Orang kota biasa memiliki visi mengenai cara hidup, masa depan, dan mekanisme meraihnya. Dengan cara-cara seperti ini, maka masyarakat kota mendapatkan kenyamanan untuk terus melanjutkan beragam keadaban ini untuk diwariskan.
Modernitas juga muncul pada beragam tindakan seperti kreatif, produktif, toleran, dan obyektif. Dengan kreativitas, lapangan kerja di kota semakin variatif dan seperti tidak akan habis. Coba saja, jika tidak ada kreativitas, mana pekerjaan menjadi blogger, youtuber, atau buzzer. Jenis-jenis pekerjaan itu hanya ada pada masa sekarang.
Masyarakat pun menjadi semakin produktif. Produktivitas berkontribusi kuat kepada penciptaan kesejahteraan. Kesejahteraan menghasilkan kenyamanan di masa kini dan masa depan.
Sedangkan toleran dan obyektif menghasilkan masyarakat yang bisa menerima keberagaman. Keberagaman adalah energi sekaligus pondasi dari kemajuan. Dengan semangat toleran dan obyektif, masyarakat bisa bersinergi karena yang dilihat adalah irisan kebersamaan. Dengan bersinergi banyak masalah mikro dan makro bisa diselesaikan.
Rasionalitas
Meski kontribusi rasionalitas pada persoalan ekologi masih menjadi perdebatan. Tetapi sumbangan dari nilai-nilai rasionalitas pada pondasi masyarakat kota sangat besar dan kuat. Salah satu bentuk nyatanya adalah kesadaran untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan berkualitas. Pendidikan adalah proses di mana rasionalitas dilembagakan dalam suatu sistem. Sistem inilah yang kemudian menjadikan warga kota memiliki kesadaran organis dalam mendapatkan sesuatu yang berarti dalam kehidupannya.
Rasionalitas menjadikan warga kota berfikir untuk mendapat sesuatu, maka dia harus memahami dan menghasilkan sesuatu. Mereka, dengan kesadaran seperti ini, kemudian berlomba-lomba untuk mencapai beragam kedudukan. Sebab dengannya, mereka bisa mengubahkan menjadi capital ekonomi.
Rasionalitas juga dasar pergerakan ekonomi. Setiap hari, warga dijejali untuk melakukan sesuatu agar menghasilkan sesuatu. Misalnya: jika bekerja keras, maka akan dapat upah; jika bersedekah banyak, maka akan dapat kemudahan, dan sebagainya.
***
Nilai-nilai kota yang ditopang oleh modernitas dan rasionalitas, dengan segala ambigiutasnya, menjadi spirit yang menopang keberlanjutan kota. Logika-logika pengelola kota, maupun warganya, selalu mengerucut sebagai refleksi dari kedua nilai tersebut. Jadi dengan nilai-nilai tersebut, yang disadari secara institusional maupun tidak, menjadikan kota terjaga dan terpelihara—minimal eksistensinya. Memang kita tidak bisa memukul rata bahwa semua warga kota bercirikan demikian. Tetapi mereka yang masih memegang dua prinsip ini di tempat mereka hidup dan bereksistensi, bisa dipastikan bahwa mereka sedang merawat nilai-nilai kota.
[terbit di Rakyat Merdeka]