Mempersiapkan Pesantren sebagai Destinasi Wisata

Pesantren sudah lama menjadi andalan masyarakat Indonesia untuk belajar, khususnya ilmu dan pengetahuan agama. Sejarah kehadirannya yang merentang begitu panjang, menjadikan pesantren pun lekat dengan beragam analisis. Peneliti Jepang, Horikoshi misalnya, menemukan adanya “cultural broker”, Abdurahman Wahid menyebutnya “miniatur kehidupan”, Geertz menyebut “ekonomi kaum santri”, dan sebagainya (hermansah, 2016).

Dengan kata lain, pesantren sudah lama menjadi destinasi epistemik para peneliti dunia. Kehidupan kosmik yang terbangun di dalamnya menyebabkan banyak pihak tinggal dan hidup di dalamnya. Sedangkan kuatnya modal sosial dan modal kultural yang dimilikinya, pesantren kerap menjadi arena komunikasi politik para politisi—terutama di tahun politik.

Tulisan singkat ini mencoba mengajukan perspektif lain mengenai eksistensi pesantren. Dengan beragamnya kunjungan ke pesantren, mengapa pesantren tidak juga mendesain dirinya untuk menjadi salah satu dari destinasi wisata?

Basis Wisata

Basis utama wisata ada dua: pengunjung (wisatawan) dan penerima kunjungan. Dalam dua variable besar tersebut, terdapat sub-variabel yang cukup kompleks dan rumit. Misalnya pada variable wisatawan di dalamnya ada komponen sarana transportasi, jasa kunjungan, akomodasi perjalanan, dan sebagainya. Pada aspek ini saja, nilai-nilai yang sifatnya ekonomi sangat besar.

Sedangkan pada variable penerima kunjungan, ada sub-variabel seperti hospitality, akomodasi, lama tinggal, kenikmatan kuliner, cinderamata, dan sebagainya. Setiap sub-variabel ini pun sama besar nilai ekonominya.

Pertumbuhan kedua variable utama di atas saat ini semakin besar. Khusus yang berkaitan dengan institusi pesantren, kemasan brandingnya beragam: wisata syari’ah, wisata religi, dan wisata halal. Bahkan untuk wisata halal, Indonesia sudah menyabet berbagai penghargaan level dunia. Salah satu yang menjadi destinasi wisata halal adalah institusi pesantren.  

Problematika (Institusi) Pesantren

Meski tidak serupa, tetapi jika kita membaca pesantren, pendekatan struktur dan sistem menarik untuk dipergunakan memetakan keadannya. Pertama, pesantren yang struktur dan sistemnya sangat tradisional. Kiai atau pimpinan pesantren adalah pusaran utama lembaga. Pesantren seperti ini tetap banyak meski kadang kala, karena spektrumnya terlalu sentralistik, tidak pernah bisa besar—dan memang tidak didesain untuk menjadi sangat besar.

Dalam pesantren seperti ini juga, hubungan-hubungan hirarkis monolitis terjadi. Tetapi model relasi seperti ini juga yang membuat lembaga ini kuat dan bertahan. Jikapun kemudian ada pergantian generasi, modus relasi monolitik tetap dipertahankan oleh seluruh warganya. Di mana sang kiai utama, biasanya pendiri, mewariskan pesantren kepada seseorang yang secara resmi ditunjuk olehnya.

Pesantren jenis lain bisa disebut model pesantren modern. Biasanya sistem pendidikan sudah menganut kelas, jadual khusus, terstruktur, dan jelas kapan masuk serta keluarnya. Penjenjangan dibuat mengikuti logika birokratik Weberian. Hal ini tentu memudahkan pengelolaan keseluruhan sistem dan asset sosial-budaya-pengetahuan yang ada di dalamnya.

Biasanya pesantren jenis ini dikelola dengan manajemen modern. Hubungan-hubungan hirarkis didesain mengikuti kultur birokrasi pada umumnya. Hal ini dibutuhkan karena pesantren sangat besar, baik dari sisi jumlah maupun luasannya. Cara-cara modern lain dilakukan seperti pendekatan pengajaran, iklan, dan partisipasi masyarakat.

Sebenarnya dengan pendekatan di atas, kita bisa memetakan banyak model. Tetapi semua pesantren memiliki irisan karakter yang sama: menyuguhkan model pendidikan agama dengan optimalisasi asset yang dimilikinya. Di sini muncul beberapa masalah. Misalnya: pesantren banyak memiliki keterbatasan sumberdaya untuk mengelola seluruh kebutuhan internalnya.

Beberapa pesantren modern mengatasinya dengan pendekatan iuran atau SPP; sedangkan pesantren tradisional menggunakan pendekatan sumbangan dan donatur. Ada juga beberapa pesantren yang memiliki lini usaha khusus seperti minimarket, kantin, dan tour and travel.

Padahal dalam miniasi kehidupan dan keseharian pesantren ada potensi yang belum digali secara optimal, yakni pariwisata ke pesantren sendiri. Potensi terpendam ini, jika dibangkitkan, setidaknya akan memberikan “jalan lain” bagi inkam pesantren. Bahkan bisa jadi, selain inkam yang sifatnya pemasukan segar, keuntungan lain akan didapatkan seperti popularitas dan sublimasi sosial budaya kepada masyarakat luas.

Menuju Pesantren Wisata

Menurut Pengasuh Pesantren La Tansa, Adrian Mafatihullah Karim (2017) setidaknya ada lima hal yang menjadikan pesantren tempat wisata, khususnya wisata religi, yaitu: nilai-nilai intrinsik lembaga, polarisasi kehidupan tersistem, alam dan masyarakat pesantren, sakralitas dan atmosfir spiritual, dan program wisata religi.

Tentu ada faktor lain yang menjadi magnitude pesantren, seperti partisipasinya dalam sejarah masyarakat lokal, hospitality, dan sejumlah kekayaan primordial lain yang tidak akan habis diciptakan.

Untuk menjadi pesantren wisata, tentu ada hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh lembaga. Pertama, pemetaan asset yang bisa “dijual” ke masyarakat luas. Aset itu bisa berupa intangible asset juga tangible asset. Sejarah, pemandangan keseharian, dan beragam kecakapan santri dan pengelola pesantren bisa menjadi asset tidak terukur yang bisa “dijual”. Sedangkan cinderamata pesantren, menginap bersama santri, kuliner santri, serta hal-hal lain yang sifatnya produk terukur, adalah asset terukur yang juga tidak kalah menarik untuk ditawarkan.

Kedua, sumberdaya manusia pesantren. Jika pesantren memang berkomitmen ingin menjadikan lembaganya sebagai destinasi wisata, maka SDMnya pun harus diinstall agar memiliki kesadaran dasar dari industry wisata. Dengan skill ini, maka pesantren bisa mendapatkan taffict kunjungan yang tinggi.

***

Tentu saja selain kedua hal di atas, banyak hal-hal yang sifatnya turunan juga harus dipersiapkan. Tetapi dengan menjadikan pesantren sebagai destinasi wisata, ajaran inklusifitas pesantren akan semakin terdiaspora kepada masyarakat luas.

Oleh: Tantan Hermansah (Dosen Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta; Sekjen P2MI) (dikirimkan ke HU Republika) *P2MI adalah Asosiasi Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam se-Indonesia

Tinggalkan Balasan