Kota yang Kehilangan Aura

Sebagai soko guru peradaban, pada kotalah harapan membangun atau meneruskan peradaban manusia ditambatkan. Dengan kata lain, tanpa kota, maka peradaban manusia pun terancam tidak berkelanjutan.

Namun sejak era kapitalisasi merasuk pada jantung kota, di mana setiap relasi diberikan definisi sebagai potensi, maka peralahan tapi pasti, peradaban kota bergeser: dari relasi penuh empati menjadi cara untuk mendulang materi.

Akal sehat kota ada pada manusia. Manusia-manusia itulah yang menggunakan nalarnya untuk membangun peradaban. Di era Yunani Kuno, kota malah dicirikan dalam satu visualisasi rasionalitas dan pertarungan akal budi. Maka tidak mengherankan jika pada sudut-sudut kota, tampak begitu nyata penghargaan atas ilmu pengetahuan yang menjadi ciri khas manusia.

Ketika desain kota didasarkan kepada ilmu pengetahuan, sama seperti peradaban yang juga didasarkan kepada hal yang sama, atmosfir yang terbangun pada keseharian warga kota adalah kontribusi untuk menjadi bagian dari gerak hidup nilai-nilai kemanusiaan. Manusia bercokol bukan sebagai alat dari sesuatu, tetapi justru sebagai agensi yang menjadikan kota sebagai tempat hidup manusia membangun peradaban.

Peradaban kota mulai luntur ketika para pihak yang berkuasa didalamnya kehilangan elan untuk membangun manusia. Mereka dengan capital plus kekuasaan yang digenggamnya mengubah kota dari ladang keadaban manusia, menjadi lubang-lubang yang penuh jebakan. Bahkan kota sendiri telah diubah menjadi mesin penyedot seluruh energi dan sumberdaya manusia, yang nota bene justru melekat pada dirinya sendiri.

Mereka, para penguasa itu, dengan capital pengetahuannya menciptakan mesin-mesin untuk mempercepat upaya menyedot seluruh energi yang ada. Sebab mereka yang memiliki banyak mesin, menjadi alat produksi yang bisa dijadikan sarana melakukan akumulasi capitalnya.

Perlombaan mengakumulasi kekayaan menjadi semacam pertandingan abadi yang tidak pernah sampai pada garis finis. Karena ketika satu tahap terselesaikan, tahap lain sudah menunggu. Para kontestan tidak pernah mengetahui dengan pasti, kapan kompetisi ini akan mencapai akhir. Sebab, standarnya begitu bersandar pada kepentingan .

Lihat saja, ketika orang biasa mulai punya uang untuk menyewa panggung pada pesta organ tunggal pada acara sunatan; atau kelas menengah menyewa gedung dan longser acara pernikahan, di belahan sana, mereka yang menguasai banyak mesin produksi, mengadakan pesta dengan biaya yang sama dengan anggaran ratusan desa yang dialokasikan negara. Ketika kaum kecil mulai punya imajinasi untuk pindah nongkrong dari warung kopi urang kuningan  ke minimarket, mereka justru sudah nongkrong di resto dan café antar benua. 

Karena manusia yang berkeadaban kota mulai hilang tertelan pongahnya para pemilik capital, maka peradaban manusia pun mulai bergeser dan perlahan akan berganti. Aura kota yang merupakan pancaran energi kemanusiaan itu, meredup seperi matahari sore yang terbenam.

Perlahan tapi pasti, kota akan diisi oleh manusia-manusia yang sistem dan perihidupnya seperti mesin. Mesin-mesin yang disetting oleh programmer untuk melayani hasrat mereka yang tidak pernah puas. Semua dibingkai dalam kampanye “era kemudahan”.

Mereka yang turun dari rumahnya di kala gelap dan sampai ke rumah kembali gelap, dilarutkan dalam sebuah narasi kerja dan rutinitas. Ketika rutinitas menjadi “cara hidup”, banyak dari mereka tidak mengetahui lagi, mengapa dia harus hidup dalam rutin ini. Sebab dalam benak, pikir dan geraknya hanya satu frasa: kerja, kerja, dan kerja.

Ada sebagian, biasanya sebagian kecil, yang tidak pernah terikat waktu dan tempat untuk “kerja”. Mereka adalah pemilik “mesin-mesin” penyedot sumberdaya dan energi manusia. Mereka duduk di tempat-tempat yang mereka mau; menikmati smartphonenya yang menampilkan rekening tabungannya yang terisi dari mesin-mesin tersebut. Aura kota yang memancar dari keadaban manusia itu, secara pasti hilang karena kota telah berubah menjadi tempat subyek-subyek terasing berproses menjadi bagian dari mesin-mesin produksi. Entah kapan pendar cahaya itu akan bangkit lagi, kita belum tahu.

Mesin-mesin yang tadinya diciptakan untuk membantu itu, kemudian mereka menaatinya, seoalah-olah sang mesin itu adalah tuannya.

[terbit di Rakyat Merdeka]

Tinggalkan Balasan