Kota dan Imajinasi Kenyamanan

Banyak orang yang tinggal di kota maupun yang di luar kota memiliki imajinasi yang sama tentang kota: nyaman. Kenyamanan itu bisa ditampilkan dalam visualisasi sebagai berikut: transportasi mudah, ruang publik yang accessible, institusi pendidikan yang berkualitas dan terjangkau, dan pekerjaan yang melimpah.

Namun pada kenyataannya, kebanyakan kota di Indonesia justru sebaliknya. Akibatnya, kota hanya bisa ditinggali jika orang-orang mau mengencangkan ikat pinggang, atau sikut sana-sini, dan hidup dalam perjalanan “gelap”, atau pergi dan pulang ke rumah dalam keadaan gelap.

Benarkah kota-kota seperti itu bisa menyangga masa depan manusia? Jawabannya jelas tidak. Ruang-ruang produktif bisa melimpah jika faslitas dan sarana penunjangnya pun cukup. Cukup itu tidak perlu mahal. Sebab di Negara lain, banyak karya-karya besar dihasilkan di taman-taman kota, atau café pinggir jalan, atau bahkan di tempat interaksi lainnya.

Interaksi sosial menjadi kunci utama dalam menghasilkan produktivitas. Namun interaksi sosial produktif tidak akan tercipta jika aspek-aspek kenyamanan tidak ada. Oleh karena itu, maka proses mendorong terciptanya kenyamanan harus menjadi agenda bersama agar kita tidak merasa pengap dan sumpek di kota-kota.

Dari mana kita memulai? Jawabannya bisa banyak. Tetapi jika membicarakan pada tingkatan pemerintah yang berwenang mengelola dan mengurus kota, maka upaya itu bisa dimulai dari trotoar dan taman-taman kota.

Trotoar dan taman-taman kota saat ini ada yang diokupasi oleh kalangan pragmatis dengan mengatasnamakan rakyat kecil. Bisa jadi mereka memang ada pada kelas sosial tersebut. Tetapi tidak selayaknya juga mereka mengokupasi ruang publik bahkan kemudian memanfaatkannya untuk menangguk keuntungan pribadi. Selain itu, banyak taman dan trotoar tidak diperhatikan keindahan dan kualitasnya. Akibatnya trotoar dan taman kota ini kurang nyaman dinikmati oleh masyarakat.

Bukti bahwa banyak yang menginginkan trotoar dan taman kota yang nyaman, bisa datang Kota Bogor. Hampir setiap hari, taman kota menjadi ruang publik masyarakat. Mereka ada yang latihan untuk pentas, olah raga, atau sekedar nongkrong menikmati hari dan harum asli rerumputan. Apalagi pada hari libur, taman-taman sangat padat, terutama oleh berbagai komunitas. Ada komunitas pecinta binatang, komunitas sepeda, dan sebagainya. Mereka memamerkan beragam produk untuk diperlihatkan kepada masyarakat. Semuanya free alias gratis.

Jadi ketika masyarakat menginginkan kenyamanan dalam kehidupan mereka, adalah salah besar jika jawabannya mall atau pusat perbelanjaan. Sebab tempat seperti mall tidak akan menghasilkan model interaksi sosial yang melampaui strata dan kelas sosial. Bahkan yang terjadi bisa sebaliknya, menghasilkan polarisasi sosial-budaya yang diametratif, atau terkutub secara ekstrim.

Memang perlu disadari bahwa mengelola trotoar dan taman kota berbiaya tinggi. Padahal nyaris bisa dikatakan tidak akan menjadi PAD. Tetapi sebenarnya, dengan pendekatan kreatif, pengelolaan kedua ruang tersebut bisa memberikan penghasilan dari sektor lainnya. Sebab kenyamanan seseorang di sebuah ruang, akan menghasilkan kenyamanan lain, misalnya menikmati suasana suatu kota sambil mengeluarkan uang untuk berbelanja. Dalam kenyamanan, potensi kesejahteraan suatu kota bisa berpotensi meningkat. Kesejahteraan ini tidak selalu berkorelasi dengan naiknya pendapatan umum warganya.

[terbit di Rakyat Merdeka]

Tinggalkan Balasan