Kota dan Ekonomi Reliji

Kesadaran keagamaan yang semakin meningkat di kawasan perkotaan menjadi penanda bahwa masyarakat kota saat ini semakin relijius. Ukurannya sederhana saja: jumlah orang yang melakukan shalat berjamaah di masjid, jumlah infak sedekah yang dikelola oleh lembaga zakat, jumlah jamaah yang pergi umrah, hajji, dan sebagainya, semakin meningkat.

Pertanyaan lanjutannya: “meningkatnya relijiusitas ini berkorelasi dengan apa?” Tulisan singkat ini akan mencoba menjawabnya.

Fenomena meningkatnya kesadaran beragama masyarakat perkotaan tentu bisa dijelaskan dengan beberapa pendekatan. Salah satunya adalah Sosiologi Ekonomi. Melalui pendekatan ini, kita bisa melihat dan menemukan langsung bahwa kesadaran relijius warga kota sangat memberikan dampak kepada pergerakan ekonomi.

Contoh paling bisa dilihat adalah ketika datangnya iedul adha seperti ini. Di jalanan banyak bertebaran spanduk yang menawarkan hewan Qurban dengan beragam variasi. Tidak hanya pendekatan konvensional, melalui cara-cara modern seperti menggunakan platform media sosial, bahkan ada yang menggunakan SPG (sales promotion girls) yang menawarkan kesempatan tahunan itu di mall-mall besar.

Kemampuan meningkatnya jumlah pequrban tentu berhubungan dengan banyak hal: pertama, kemampuan ekonomi. Sebab setiap hewan qur’ban tentu harus dibeli menggunakan uang; kedua, kesadaran masyarakat sendiri. Jika dilihat, bahwa pequrban tidak selalu muncul dari masyarakat lapisan atas atau mereka yang berkecukupan secara ekonomi, tetapi juga dari kalangan biasa-biasa.  Kalangan ini bahkan rela menabung bertahun-tahun untuk bisa melakukan qurban.

Ketiga, membaiknya institusi pengelola kegiatan religi. Masjid, mushalla, lembaga-lembaga keagamaan saat ini selain sudah menerapkan prinsip-prinsip modern seperti transparansi untuk mengelola lembaganya, juga sudah memiliki kesadaran bahwa sistem yang baik akan memberikan output yang baik juga.

Selain fenomena tahunan seperti iedul qurban di atas, hal-hal yang sifatnya relijiusitas harian juga sangat berdampak kepada bergeraknya roda ekonomi. Meningkatnya penerimaan masyarakat pada gaya busana hijab, baju muslim, tanpa menghilangkan kesan trendi, misalnya menjadi salah satu pemicu mengapa industry ini semakin mempesona banyak kalangan. Maka jangan heran, bahwa beberapa pelaku usaha yang fokus melayani kebutuhan busana muslim/ musimah saja, kehidupan ekonominya cukup baik.

***

Jika kita dalami lebih jauh, kota dan ekonomi reliji saat ini seperti emas dengan kemilaunya, atau api dengan panasnya. Keduanya tidak bisa dipisahkan, namun demikian, jika diagregasi keduanya memiliki kekuatan dasyat. Sementara jika dilihat fakta di lapangan, inklusi ekonomi terjadi. Di mana yang menikmati kue ekonomi dari meningkatnya kesadaran reliji hampir seluruh masyarakat dari berbagai lapisan. Di sinilah indahnya “Islam Rahmatan Lil Alamin”. Kehadiran, perilaku, dan nilai-nilainya menjalar dan menebar tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi justru terasa bagi semua orang.

Oleh: Tantan Hermansah [terbit di rakyat merdeka]

Tinggalkan Balasan