Kolaborasi Strategis Kampus dan Pemkot

Paradigma kolaborasi sudah harus mengalami proses mainstreaming di birokrasi dan masyarakat. Kolaborasi merupakan metode yang mempertemukan para pihak dalam semangat positif, berangkat dari kesetaraan, dan penghargaan atas kelebihan, serta penghormatan atas kekurangan. Tidak ada “superman” dalam menyukseskan tindakan, begitu kata para motivator kesuksesan. Tapi “Super Team”, yang bisa menjadi pondasi dari seluruh perubahan. 

Pemerintah (kota), Universitas, Pebisnis/ Swasta, Masyarakat/ Komunitas, dan Media adalah entitas yang dengan segala keunggulannya bisa sangat beririsan dalam melakukan perubahan. Dengan kesadaran seperti ini, maka permasalahan-permasalahan di tingkat local bisa dibahas secara lebih menukik, tepat, dan terarah.

Partisipasi dan Kolaborasi

Saat ini banyak pihak menggunakan istilah “partisipasi” dan “kolaborasi”. Kedua istilah yang demikian akrab itu, tidak jarang dimaknai secara kurang tepat. “Partisipasi” sendiri berasal dari istilah Bahasan Inggeris “participation” yang memiliki arti pengambilan bagian atau pengikutsertaan (Wikipedia). Sedangkan dalam KBBI, partisipasi juga diberi arti keikutsertaan dalam suatu kegiatan. kolaborasi yang juga pengindonesiaan dari kosa kata dalam Bahasa Inggeris “collaboration” memiliki arti “bekerja bersama” yang mana masing-masing pihak mengerjakan bagiannya.

Dalam konteks sosiologis, partisipasi berarti pilihan tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam bentuk aksi riil berupa pemikiran atau praktik yang melibatkan berbagai pihak dengan tujuan menyelesaikan atau mengupayakan sesuatu. Sedangkan dalam konteks manajemen kebijakan, partisipasi merupakan bentuk nyata dari pelibatan semua unsur pembangunan untuk mengelola sebuah wilayah dengan melibatkan semua potensi yang ada.

Para pihak yang terlibat partisipasi biasanya terdorong karena kesukarelaannya, yang hal ini muncul karena adanya surplus sumberdaya. Sebagai contoh, perguruan tinggi memiliki surplus sumberdaya kaena sistemnya sendiri mendorong hal ini. Tridharma Perguruan Tinggi yang komponennya adalah pengajaran, penelitian, dan pengabdian, memiliki ruang untuk stakeholders kampus melibatkan diri pada isu-isu pembangunan.

Di wilayah Kota Tangerang Selatan berdiri kokoh beberapa kampus yang memiliki karakteristik dan keunggulannya sendiri-sendiri. Ada UIN Jakarta yang berdiri sejak tahun 60-an dan kuat dalam kajian-kajian keislaman dan kemasyarakatan. Ada Universitas Terbuka, Universitas Pamulang, STAN, UPJ, STEIAD, dan sebagainya yang semuanya dipastikan memiliki surplus ide, sumberdaya, dan kapasitas lainnya yang bisa dikelola secara kolaboratif.

Selain itu, Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah yang tidak hanya jadi satelit bagi Ibukota Indonesia, Jakarta. Kota Tangerang saat ini bahkan mengalami proses membesar dan menguat di dalam. Artinya, banyak aktivitas para pihak di dalamnya bukan lagi melayani kebutuhan Jakarta, tetapi lebih mandiri—bahkan mengundang pihak dari luar untuk melakukan aktivitasnya di Kota Tangerang Selatan. Karena sifatnya seperti inilah Kota Tangerang Selatan mengalami berbagai hal yang lazim hadir di kota yang tumbuh—apalagi sangat pesat—seperti: macet, semerawut, dan ancaman konflik sosial.

Dalam konteks seperti ini, maka kolaborasi seperti yang dikerangkakan dalam struktur penta helix menjadi sangat penting dilaksanakan. Pertanyaannya kemudian adalah siapa pelaku utama yang bisa menggerakkan seluruh potensi sumberdaya tersebut?

Sebenarnya semua pihak bisa menjadi penggerak utama (prime mover) dari relasi stakeholders dalam struktur penta helix tersebut. Namun jika ditelaah lebih lanjut, pihak yang paling mungkin mengalokasikan sumberdaya untuk menjadi engine utama adalah pemerintah kota. Berbeda dengan perguruan tinggi dan swasta, struktur sumberdaya keduanya memiliki keterbatasan untuk diarahkan menangani isu-isu publik. Apalagi tidak jarang, kampus atau swasta mengarahkan sumberdaya yang dimilikinya untuk hal lain yang lebih besar, seperti isu-isu makro nasional, misalnya.

Fakta bahwa perguruan tinggi di Kota Tangerang Selatan belum tentu memiliki concern  atas isu-isu lokal jelas terungkap ketika dalam sesi FGD, ada perguruan tinggi yang eksis di wilayah Kota TangSel, tetapi tidak memiliki satu pun hasil kajian tentang Tangerang Selatan. Tentu saja, karena namanya perguruan tinggi memiliki kebebasan akademik untuk mengalokasikan resourcesnya pada isu yang mereka minati. Dengan realitas seperti ini, maka menjadi penting jika kemudian pemkot yang menjadi prime over dalam struktur penta helix ini. Tinggal apakah perguruan tinggi meminati isu-isu yang sudah diadress pemerintah RPJMD, kami yakin jika mekanismenya cocok dengan iklim dan sifat dari cara kerja stakeholders, isu-isu prioritas ini akan bisa ditelaah, didalami, dan dicari pemecahannya bersama-sama.

[terbit di Tangsel pos]

Tinggalkan Balasan