Insentif Sampah Perkotaan

Alih-alih berkurang, sampah di kota-kota seperti Kota Tangerang Selatan volumenya semakin meningkat. Pemerintah Kota sudah melakukan penanganannya secara 3D: Dikumpul, Dipungut, dan Dibuang. Tetapi karena 3D itu tidak mengubah perilaku para penghasil sampah, maka volume sampah itu tetap meningkat.

Oleh karena itu sepertinya, perlu ada pendekatan lain untuk mengelola sampah ini: yakni berbasis insentif. Dalam konteks pendidikan ada pendekatan insentif dan disinsentif. Insentif merupakan pendekatan berbasis reward atau penghargaan. Penghargaan itu bisa bermacam-macam, mulai dari pemberian pujian, sampai kepada hal-hal yang sifatnya material seperti hadiah uang, sepeda, dan sebagainya. Sedangkan diinsentif merupakan pendekatan berbasis sanksi, misalnya denda, hukuman, dan sebagainya.

Jika dipikirkan lebih lanjut, pendekatan sanksi atas perilaku penyimpangan sampah sudah disosialisasikan sejak lama. Kata-kata yang dikemukakan pertama kali adalah “DILARANG”, maka jika tidak menuruti, berarti melanggar. Mereka yang melanggar maka akan kena disinsentif. Bahkan jika membicarakan dendanya sangat besar. Meskipun sepertinya kurang efektif.

Bagaimana praktik insentif sampah ini?

Pertama, pendidikan. Tentu saja hal ini harus diawali dengan meningkatkan kapasitas para pendidiknya, mulai dari pelatih (trainer), guru, dosen, penceramah, fasilitator masyarakat, dan setiap orang yang berhubungan dengan kegiatan pendidikan. Dalam konteks pendidikan, pun kita harus menemukan metode baru dalam menyampaikan pesan tentang peduli sampah ini. Metode yang tidak hanya melihat isu sampah dari cara pandang normatif, tetapi lebih advance lagi, misalnya menghasilkan nilai tambah. Jadi visi pengelolaan sampah harus dibangun dalam cara pandang jangka panjang.

Insentif pada aras ini terletak pada alokasi sumberdaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menemukan metode baru pendidikan sampah dalam bentuk modul dan kurikulum, penciptaan para trainer professional, dan bahkan lab-sampah. Bahkan pada lab-sampah, pemerintah membangunnya dengan pendekatan yang berbeda seperti sebuah arena rekreasi. Sehingga siapapun bisa belajar bagaimana mengelola sampah dengan nyaman dan menyenangkan.   

Kedua, penghargaan atau reward. Apresiasi atas prestasi sangat penting dilakukan. Bahkan harus dibuat berkala dan terprogram. Jenjang penghargaan atas prestasi pun harus dibuat terukur dengan jangkauan yang berbeda-beda. Misalnya untuk level dasar kriterianya lingkungan bersih; level menengah sampah berkurang; dan level tertinggi sampahnya menghasilkan nilai tambah ekologi bagi subyek masyarakat.

Ketiga, insentif berkelanjutan. Selain pada aras edukasi dan penghargaan, harus juga dipikirkan model insentif jangka pendek yang mudah dilakukan atau dijangkau oleh siapapun. Misalnya sampah diubah jadi tabungan emas, sampah untuk membayar BPJS, sampah untuk membeli token PLN, dan sebagainya. Mengapa solusi yang (sepertinya) instan ini dianggap berkelanjutan, karena dampak yang dihasilkannya justru pada aspek subyek pelaku yang sangat besar.

Berbeda dengan kedua model yang sudah disebutkan di atas, yang memerlukan sumberdaya yang luar biasa: konsistensi, kecakapan, keahlian, dan sebagainya, model insentif yang terakhir justru sangat mudah dilakukan.

Masyarakat cukup diberikan tawaran untuk mengikuti pola perlakuan atas sampah mereka sendiri dengan modul yang sudah ditetapkan. Misalnya mereka diminta memilah, memilih, dan menyetorkannya kepada pihak yang ditunjuk pemerintah untuk dikonversi menjadi sesuatu. Di sini, sampah akan langsung menghasilkan nilai tambah bagi subyeknya. Dengan metode seperti ini, maka pemerintah seolah-olah memiliki petugas pengelola sampah yang sangat banyak.

***

Tentu saja, ketiga tawaran di atas tidak bisa berjalan sendiri. Pemerintah harus menggandeng para pihak untuk sama-sama menciptakan nilai tambah dari sampah ini. Para pihak yang ada dalam kerangka Penta Helix seperti Perguruan Tinggi untuk kajian dan ujicoba skala lab, pengusaha untuk output sampah, dan komunitas yang peduli sampah, serta media untuk mengkampanyekan seluruh hasil dari gerakan bersama ini, harus terkoneksi sedemikian rupa untuk menanggulangi sampah ini. Jika tidak, sampah akan menjadi permasalahan sosial politik yang semakin kompleks dan sulit untuk diselesaikan.

Dukungan yang sifatnya kelembagaan perlu dipikirkan. Misalnya ada perda yang mengatur biaya pungut sampah yang dibuat lebih mahal dan berbasis volume. Misalnya  setiap kilogram sampah yang disetorkan oleh ke petugas, maka warga harus membayar sebesar sekian—yang diakumulasi perbulan. Tetapi jika mereka mau memilah, memilih, dan mengkategorisasikannya, mereka justru mendapatkan insentif dan bentuk uang tunai, pengratisan BPJS, dan sebagainya. Implikasi lain, pemerintah harus memikirkan kelembagaan usaha berbasis sampah ini dalam bentuk badan usaha seperti BUMD (Badan Usaha Milik Daerah). BUMD sampah ini tidak berbicara hanya mengangkut dan membuang, tetapi justru mentransformasi sampah-sampah ini menjadi sumberdaya pendapatan daerah. Jadi BUMD inilah yang tupoksinya meneliti, mengelola, dan mengubah sampah yang selama ini hanya sebagai benda buangan, menjadi peluang yang bisa dikonversi menjadi pendapatan.

Oleh: Djaka Badranaya [Kepala Pusat Pengabdian Masyarakat UIN Jakarta] & Tantan Hermansah [Dosen Pengembangan Masyarakat UIN Jakarta] (terbit di TangselPos)

Tinggalkan Balasan