Warning: Use of undefined constant the_views90 - assumed 'the_views90' (this will throw an Error in a future version of PHP) in /home/kotalogy/public_html/wp-content/themes/oria/single.php on line 14

Hermeneutika Wisata Ziarah

Wisata ziarah semakin diminati oleh berbagai pihak sebagai salah satu unggulan produk wisata. Sejarah aktivitasnya yang lama, maka Wisata Ziarah menyimpan kesan tersendiri. Tulisan singkat ini akan menganalisis Wisata Ziarah dalam perspektif ilmiah, dengan menggunakan teori Roland Barthes sebagai alat bedahnya.

Roland Barthes (1915-1980) merupakan seorang filsuf dan sosiolog kenamaan asal Perancis. Banyak teori-teori dan analisisnya tentang perilaku orang kebanyakan diberikan makna “lain” sehingga menghasilkan cara pandang berbeda. Barthes menjadi analisator perilaku keseharian (budaya massa). Di tangan Barthes, hal-hal yang terlihat biasa saja, bisa menghadirkan “sesuatu”.

Salah satu teori yang sering dipergunakan oleh para pembaca dan penikmat Barthes adalah teori tentang semiotika. Teori ini antara lain menyebutkan tiga kategori makna atas satu fenomena. Ketiganya adalah Makna Denotasi, Makna Konotasi, dan Makna Mitos.

Di sisi lain, Wisata Ziarah merupakan fenomena dan aktivitas yang sudah lama dilakukan sebagian ummat Islam. Di Indonesia para peziarah melakukan kunjungan singkat (hitungan jam) atau cukup lama (puluhan hari) pada sebuah lokasi atau titik ziarah. Mereka melakukan beragam ritual, seperti berdiam, berdo’a, dan atau shalat.

Berbeda dengan tempat wisata lain yang basisnya pemandangan alam (gunung, sungai, pantai, dan sebagainya), antraksi budaya (pertunjukan, pameran, dan sebagainya), atau kenyamanan tertentu (hotel, taman hiburan, atau tempat istirahat lainnya), Wisata Ziarah memang sangat unik. Sebab secara epistemologis, destinasi Wisata Ziarah bisa dihasilkan dari berbagai hal yang bukan semua hal yang sudah disebutkan di atas. Beberapa destinasi merujuk kepada “karamah” seseorang, misalnya seorang ulama besar, yang kemudian dikunjungi oleh para pengikutnya. Biasanya, semakin tinggi karamahnya, maka intensitas kunjungan dan atensi ke lokasi tersebut semakin tinggi.

Ada juga destinasi yang merujuk kepada aktivitas yang sudah dilakukan secara turun temurun. Aktivitas ini terus terpelihara dan menjadi semacam ritus tertentu yang terus dijalani pengikutnya. Secara singkat, destinasi Wisata Ziarah tersebut bisa sangat beragam, tetapi ada aktivitas yang mirip dilakukan oleh pengunjung pada destinasi tersebut.

Wisata Ziarah memiliki karakteristik yang berbeda dengan, meski juga banyak kesamaan, Wisata Halal atau Wisata Sya’riah. Wisata Halal dan Wisata Syariah lebih banyak merujuk kepada persoalan sarana atau fasilitas yang menyamankan entitas wisatawan/ pelancong muslim. Hal-hal seperti ketersediaan makanan, tempat shalat, fasilitas keluarga, merupakan beberapa indikator yang melekat kepada Wisata Halal atau Wisata Syariah. Adapun aktivitasnya bisa dikatakan lebih banyak sama dengan dengan jenis wisata pada ummnya. Sedangkan Wisata Ziarah merujuk kepada aktivitas peziarah: melalukan ibadah ritual pada destinasi dengan do’a dan dzikir yang kadang sangat spesifik.

Jika menggunakan perspektif bhartesian di atas, Wisata Ziarah bisa dilihat dengan tiga makna yang saling melengkapi dan memperkuat. Pertama, Wisata Ziarah secara makna denotatif memberikan arti sebagai tempat orang datang untuk mengetahui destinasi. Jika aktivitas Umrah ke Arab bisa dimasukkan sebagai salah satu bentuk Wisata Ziarah. Maka secara denotatif, Umrah akan memberikan makna kepada pelaku atau peziarah pada aras validasi pengetahuan saja. Peziarah mengetahui bagaimana dan di mana Ka’bah, serta aktivitas apa saja selama kita melaksanakan Umrah tersebut.

Pada Wisata Ziarah yang cukup dikenal di Indonesia seperti mengunjungi makan Sembilan Wali misalnya. Di aras ini, makna bagi peziarah hanya mengetahui di mana saja letak makam-makam wali tersebut. Meski di tempat-tempat tersebut bisa jadi melakukan aktivitas yang sama dengan peziarah lain, tetapi tetap saja secara makna akan memberikan hasil yang berbeda.

Mereka yang mendapatkan makna paling dasar ini, justru akan membuka peluang untuk maju ke tahap berikutnya. Sebab pengetahuan yang dimilikinya itu akan menjadi modal dalam memaknai symbol dan symptom lain yang hadir atau muncul pada aktivitas dan destinasi tersebut.

Kedua, secara konotatif, Wisata Ziarah memberikan makna lain yang lebih dari sekedar mengetahui. Para peziarah mulai menemukan manfaat dari setiap kunjungannya. Biasanya, mereka yang menemukan makna seperti ini setelah melakukan ziarah lebih dari satu titik destinasi, atau lebih dari satu kali kunjungan. Pada aras ini, intensitas kunjungan memberikan makna ziarah masuk ke tingkatan manfaat baik secara praktis maupun spiritual.

Secara riil, makna ini ditemukan karena beragam relasi yang hadir dan muncul selama melakukan ziarah: kunjungan bersama-sama, datang pada hari dan waktu yang sama,  serta melakukan aktivitas ibadah yang sama, umumnya akan menghasilkan medan kesadaran yang sama. Mereka yang biasa-biasa saja kemudian berpeluang terpapar oleh energi yang memendar pada medium yang mereka hasilkan. Hal paling mudah misalnya bisa kita dapatkan ketika orang melakukan dzikir bersama, istighasah akbar, atau kunjungan lain ke tempat Wisata Ziarah. Orang-orang secara tiba-tiba merasakan berbagai hal yang hadir karena ada di situ.   

Di sini peziarah mulai menemukan makna lain yang kemudian menghasilkan “cerita”. Perjalannya menjadi semacam langkah spiritual yang jalannya baru ditemukan. Mereka akan menyampaikan apa yang dirasakan, bukan apa yang diketahui. Mereka memberikan makna melalui refleksi pikiran, bukan sekedar pengetahuan yang dilihatnya.   

Ketiga, Wisata Ziarah juga akan menghasilkan makna mitos. Barthes menjelaskan mitos yang secara semiologis merupakan sesuatu yang “tidak perlu” dibuktikan dasar kebenarannya. Sebab kebenarannya melekat pada “tubuh” subyeknya, meski (kadang) tidak dapat dibuktikan. Dalam mitos muncul persepsi dan asumsi kebenaran yang sudah ada, tanpa harus berpusing-pusing memvalidasi. Dengan kata lain, kebenaran ada pada eksistensi yang melekat dan tervisualisasi pada realitasnya.

Bagi peziarah, semua destinasi memiliki mitosnya masing-masing. Ia tampil dan hadir dalam carita para “penjaga”, atau “kuncen” (atau sebutan lainnya), maupun hadir dalam beragam “temuan” sendiri para peziarah. Ketika seorang peziarah mengatakan bahwa selama di sebuah makam ia mengalami trance atau ekstase sehingga ketemu Sang Waliullah, realitas kebenarannya tidak perlu divalidasi menggunakan metode ilmiah. Selain karena tracking method itu akan memiliki kelemahan sendiri, namun dalam praktiknya juga subyek validator belum tentu bisa dengan benar menelusuri “jalan keyakinan” yang sudah ditempuh orang sebelumnya.

Makna mitos bagi peziarah juga ditemukan dalam bentuk kesadaran terhubung antar subyek pelaku dengan subyek tujuan. Antar subyek pelaku atau peziarah mengalami nuansa kesamaan yang kemudian secara perlahan memperkuat keakuan. Melalui kebersamaan ini juga, para peziarah ini, meski tidak selalu harus saling kenal, menemukan kesadaran bersama akan berbagai aktivitas dan tindakannya. Sedangkan keterhubungan antar peziarah dengan subyek tujuan bisa ditemukan dalam beragam modus keterhubungan lain yang sifatnya sangat privat, personal, dan intim. Biasanya, keterhubungan yang sangat pribadi ini hanya bisa ditemukan melalui pengalaman, bukan analisis pemikiran.

***

Wisata ziarah merupakan fenomena global. Sejatinya pemerintah bisa mengoptimalkannya sebagai bagian dari instrumen peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penataan berbagai sarana penunjang kesejahteraan peziarah mulai dari tempat kedatangan, saranan transportasi, jalan, dan destinasi bisa dilakukan. Meski banyak peziarah datang dari kalangan menengah bawah, tidak ada salahnya mereka dilayani sebagaimana layaknya para pelancong lainnya. Sebab dalam praktiknya, spend of money dari para pewisata cukup tinggi.

Kemudian di aras epistemis, peningkatan kualitas pendidikan yang akan menjadi “pelayan” bagi aktivitas wisata ziarah pun perlu dilakukan. Sampai saat ini, pendidikan pariwisata yang khusus fokus kepada pemahaman dan pelayanan wisata ziarah sangat minim atau tidak ada sama sekali. Kedua hal ini, faslitas fisik dan kapasitas pelayanan jasa wisata ziarah, jika dioptimalkan dengan baik, potensi income bagi daerah tujuan sangatlah besar. Meski tentu saja, manfaat terbesar adalah menghasilkan epicentrum kesadaran pada pelakunya.

[terbit di Harian Republika]

Tinggalkan Balasan