Dilan dan Tamannya

Mencermati diskursus ide Gubernur Jawa Barat mengenai Pojok Literasi Dilan, penulis tertarik untuk ikut “jabung tumalapung”. Penulis akan memahami pada aspek keilmuan yang sangat terbatas: Sosiologi.

***

Saat ini banyak pemerintah daerah berebut “simpati” publik agar bisa menjadi destinasi wisata. Berbagai hal disulap agar semua bisa mendapatkan berkah. Salah satu yang sedang happening adalah istilah “istagramable”. Istagramable sudah menjadi kosa kata baru dalam dunia rekayasa space karena frasa yang juga sudah ngetrend  lebih dulu: selfie. Jadi, kedua kata tersebut beririsan saling mengisi dan kemudian sama-sama berbagi berkah. Salah satunya adalah hadirnya kategori “pekerjaan” baru: selebgram.

Selebgram adalah mereka yang populer di media sosial Instagram. Para pesohor ini, jika kebetulan beruntung, bisa menjadi sosok yang berlimpah kekayaan, popularitas, dan tentu saja, pemujaan dari para penggemarnya. Untuk menjadi selebgram, salah satunya harus pandai mengelola konten dalam media sosial Instagram.

Berangkat dari situ, maka banyak pihak berlomba-lomba menciptakan titik (spot) yang bisa indah terlihat dalam Instagram tersebut. Memang ada beberapa tempat yang secara hakiki sudah sangat instagramable, tetapi lebih banyak lagi memang hasil buatan dan kecerdasa para pembuatnya.

Tempat yang instagramable itu diharapkan bisa ngehit, terkenal, dan akhirnya akan mengundang orang datang. Untuk menghasilkan tempat yang seperti itu, penciptanya harus cerdas melakukan reproduksi ilmu pengetahuan agar bisa dipahami secara praktis dan teknis. Bahasa sederhananya, menciptakan tambatan bagi pelaku pada obyek tertentu.

Sebetulnya, begitulah posisi mengaja pojokan yang kata Kang Emil cuma “seuprit” itu dinamai “Dilan”. Dilan justru sosok fiktif yang tidak perlu ada pertanggungjawaban sosial kepada orang lain. Ia diproduksi oleh pikiran-pikiran penulisnya untuk mereproduksi kenangan akan Bandung dan “kelakuan” remajanya. Namun ada aspek lain yang sebenarnya sedang diproduksi oleh Kang Emil: ekonomi kreatif.

Ekonomi kreatif itu bahan baku utamanya adalah akal budi yang diproduksikan agar menghasilkan sesuatu. Salah satunya adalah ide. Ide-ide yang dibuatkan “kaki” membutuhkan “kapstok” yang idealnya dikenal banyak orang. Bisa saja, Kang Emil misalnya membuat Pojok Soekarno, karena beliau juga sekian tahun pernah jadi “Urang Bandung” misalnya. Tapi itu tidak akan menghasilkan gelombang kejut dunia perselfian seperti sekarang. Bung Karno atau Soekarno memiliki keemasannya sendiri. Dan tentu bukan hari ini. 

Bagi penulis, penciptaan Pojok Dilan, lebih karena ekonomi saja. Setelah para pelancong disuguhkan beragam taman yang dibangun oleh Kang Emil ketika masih menjabat sebagai Wali Kota Bandung, saat ini ada destinasi baru yang diturunkan dari proses kreatif seorang penulis Urang Bandung dan tentang Bandung. Karena habit dari traveler jaman now itu mudah bosan dan gampang pindah ke lain hati. Sehingga penciptaan produk-produk wisata baru diperlukan agar mereka tetap terikat dengan destinasi tersebut.

Sudah bukan rahasia jika karya-karya imajinatif bisa memberikan andil bagi sebuah kawasan. Termasuk pada ranah wisata. Salah satu tempat yang cukup dikenal adalah Belitong. Bahkan jika pelancong datang ke sana, disambut tulisan: “Bumi Laskar Pelangi”. Mungkin beberapa orang berargumen, bahwa Laskar Pelangi memberikan inspirasi karena kisah mereka. Bagi penulis, inspirasi bisa hadir dari berbagai peristiwa dan tidak bisa disimpulkan secara linier. 

Bagi penulis, ruang seperti Pojok Dilan dan sebagainya harus diperbanyak karena bisa menjadi ruang publik yang menghasilkan interaksi. Interaksi akan menghasilkan banyak hal, dan bisa jadi menginspirasi seseorang untuk memproduksi hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Beberapa komentator, pengamat, atau aktivis yang memprotes tentang Pojok Dilan, menurut saya juga terlalu lebay. Apalagi harus mencari sosok yang nyantri, atau remaja sempurna dan ideal yang realnya saja bisa dibilang tidak ada. Kalau tidak setuju dengan Pojok Dilan, yang tinggal jangan berkunjung. Masih banyak public space yang lain di Bandung yang bisa dikunjungi dan tidak membosankan.

[terbit di RMOL]

Tinggalkan Balasan